Assalamu'alaikum Wr. Wb

Blog ini dibuat hanya sekedar untuk pengisi waktu luang, tidak ada yang terlalu serius dan penting dalam blog sederhana ini. Tulisan-tulisan yang ada hanya merupakan coretan tanpa makna yang muncul dari "ketidak seriusan" saya dalam membuat blog ini.

Blog ini hanya sebagai penyalur "uneg-uneg" saya tanpa bermaksud membuat orang berpikir terlalu serius. Lihat dan dengar berita di media massa, betapa banyak orang yang pada akhirnya bunuh diri karena terlalu serius menghadapi permasalahan hidupnya sehingga stress, dan ketika tidak mendapatkan jalan keluar dari masalah, akhirnya memilih jalan pintas untuk "keluar dari kehidupannya".

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

29 September 2009

ANARCHO-PRIMITIVISM

Bagi di facebook

(oleh: Hamim Tohari)

Nulis lagi ah.....udah lama nggak nulis-nulis, kangen juga..

Kebetulan sebelum apel tadi padi di TV pas lagi ada berita tawuran antar kampung di Lombok yang menewaskan 3 orang. Melihat gaya mereka yang tawuran dengan membawa tombak-tombak panjang, kok rasanya hidup di jaman primitif yang jauh dari peradaban modern, dimana banyak permasalahan, walaupun kecil, yang harus diselesaikan dengan peperangan atau pertumpahan darah. Dalam "peradaban modern" bangsa Indonesia, paradigma sosial seperti ini justru terlihat semakin marak terjadi pasca bergulirnya reformasi 1998, dimana tonggak dari era itu sendiri juga di warnai oleh aksi anarkhisme sosial yang cukup memprihatinkan. Ribuan korban nyawa berjatuhan, pemerintahan dan perekonomian lumpuh, supremasi hukum diinjak-injak dan kehidupan sosial dihantui oleh ketakutan demi ketakutan.


Bosan rasanya mendengar atau membaca berita di media yang menceritakan tingkah laku sosial masyarakat yang anarkhis dalam menghadapi berbagai permasalahan, baik yang terjadi secara spontan maupun terencana dan terorganisir. Tawuran antar kelompok, tawuran pelajar, tindak kekerasan atas satu kelompok kepada kelompok lain hingga pembakaran hidup-hidup terhadap orang yang tertangkap mencuri sandal seolah-olah tidak habis dari waktu ke waktu. Para penegak hukum pun seolah-olah kesulitan menerapkan aturan hukum apabila kriminalitas atau anarakhisme itu dilakukan secara massal. Bahkan hubungan antar institusi penegak hukum pun sering diwarnai oleh tindak-tindak kekerasan secara massal.

Saya coba mencari istilah yang tepat untuk menggambarkan paradigma sosial ini. Karena melihat gejala sosial ini lebih mirip dengan kehidupan masyarakat primitif, lantas muncul pertanyaan di benak saya, apakah paradigma ini dapat diistilahkan sebagai sebuah "primitivisme"? atau kembalinya norma-norma kehidupan primitif di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern?.

Di wikipedia terdapat istilah Primitivism, yaitu suatu paham yang menganggap bahwa kehidupan ternyata lebih baik atau lebih bermoral pada tahap-tahap awal umat manusia atau di antara orang-orang primitif (atau di antara anak-anak) dan menjadi semakin buruk seiring dengan perkembangan peradaban (civilization). Paham ini mencoba memberikan jawaban terhadap pertanyaan abadi apakah perkembangan peradaban dan teknologi kompleks telah mendapatkan manfaat atau merugikan manusia. Penganut paham primitivisme cenderung menganggap bahwa kehidupan manusia sebelum berkembangnya peradaban modern lebih mulia daripada manusia beradab.

John Filiss, seorang sosiolog, mencoba mendefinisikan primitivisme sebagai sebuah cara hidup yang bertentangan dengan perkembangan teknologi dan peradaban modern. Perkembangan teknologi yang mengutamakan penggunaan alat dianggap cenderung menyebabkan stratifikasi pemisahan antara individu-individu dalam masyarakat. Hal ini pula yang akhirnya banyak menimbulkan pertentangan di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.

Dengan definisi tersebut, berarti angan-angan saya untuk mengistilahkan kondisi sosial tersebut tidak sepenuhnya benar. Sedikit yang benar adalah bahwa primitivisme mendambakan berlakunya norma-norma kehidupan masyarakat primitif. Namun demikian itu semua didasari oleh kesadaran untuk memberlakukan moralitas kemanusiaan yang pada dasarnya bersifat baik, sedangkan kondisi sosial yang terjadi justru mengingkari nilai-nilai moralitas kemanusiaan.

Ada sebuah istilah lain menurut wikipedia, yaitu "anarcho-primitivism" yang merupakan kritik anarkhis terhadap asal-usul dan kemajuan peradaban. Menurut anarcho-primitivism, pergeseran dari pemburu-pengumpul untuk pertanian pada dasarnya menimbulkan stratifikasi sosial, paksaan, dan keterasingan. Anarcho-primitivist menyarankan untuk kembali ke cara hidup "non beradab" melalui deindustrialisation, penghapusan pembagian kerja atau spesialisasi, dan ditinggalkannya organisasi berteknologi skala besar.

Banyak kritik yang menganggap bahwa aliran ini adalah anti peradaban, bahkan banyak yang menganggap bahwa anarcho-primitivism berkaitan dengan dengan anarkisme, tetapi sosiolog seperti Wolfi Landstreicher, mendukung paham ini tetapi tidak menganggap diri mereka anarko-primitivists. Anarko-primitivists sering menjalankan praktek mereka untuk mencapai keadaan liar yang melalui "rewilding".

Menurut John More, anarcho-primitivism (alias primitivisme radikal, anti-otoriter primitivisme, anti-gerakan peradaban, atau hanya, primitivisme) adalah singkatan istilah untuk arus yang radikal terhadap totalitas peradaban dari perspektif seorang anarkis, dan berusaha untuk memulai secara komprehensif transformasi kehidupan manusia. Tegasnya, tidak ada yang namanya anarko-primitivisme atau anarko-primitivists.

Anarcho-primitivism ini kelihatannya cukup relevan untuk digunakan dalam mengistilahkan paradigma sosial masyarakat Indonesia yang masih suka menjalankan cara-cara kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Tetapi kembali lagi, primitivism atau anarcho-primitivism adalah paham yang didasari oleh sebuah kesadaran ilmiah, sementara kondisi kondisi sosial yang terjadi di Indonesia tidaklah didasari oleh kesadaran akan sisi negatif dari sebuah perkembangan peradaban dan teknologi. Di satu sisi kita menghendaki perkembangan peradaban seperti negara-negara lain yang lebih maju, tetapi di sisi yang lain tingkah laku dan moralitas kita masih seringkali "set-back" jauh ke jaman primitif.

Seringkali saya juga mendengar pendapat bahwa keadaan tersebut disebabkan oleh masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat dan belum siapnya masyarakat kita untuk menghadapi peradaban modern. Saya sangat tidak setuju dengan pendapat tersebut, karena seringkali tindakan-tindakan anarkhis itu di motori oleh mereka-mereka yang justru memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Rasanya masih belum pudar ingatan kita pada fenomena tawuran antar mahasiswa, pembakaran kampus dan lain-lain. Apakah masih kurang tingkat pendidikan mereka...? tentu saja tidak.

Contoh lain, anggota DPR dengan segudang gelar kesarjanaan di belakang namanya juga menunjukkan tindakan-tindakan primitif di dalam gedung dewan untuk menyelesaikan masalah. Apakah mereka berpendidikan rendah...? tentu saja tidak. Jadi jangan mengkambing hitamkan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat dengan paradigma sosial yang primitif tersebut.

Mungkin jawabannya - versi saya - adalah bahwa kita ini terlalu lama terbuai dengan kehidupan "toto tentrem kerto raharjo gemah ripah lohjinawi", kehidupan yang super enak, tidak banyak tantangan. Sehingga kita memerlukan penyaluran terhadap agresifitas sosial kita sebagai manusia. Karena tidak ada "musuh sosial" eksternal yang bisa dijadikan penyaluran, akhirnya kita saling membunuh "saudara sendiri" walaupun hanya dipicu oleh hal-hal kecil.

Mungkin kita perlu "memanas-manasi" Malaysia untuk terus memprovokasi konflik lewat klaim-klaimnya terhadap "harta" Indonesia, sehingga suatu saat kita punya penyaluran untuk meluapkan agresifitas sosial kita, hingga akhirnya kita bosan dengan anarkhisme dan kembali menjalani kehidupan yang lebih beradab. Wallahu 'alam bisshawab.

1 komentar:

swatantra mengatakan...

pantas nama blog ini tulisan tanpa makna, absolutely. asal nulis aja lu.

Posting Komentar