Assalamu'alaikum Wr. Wb

Blog ini dibuat hanya sekedar untuk pengisi waktu luang, tidak ada yang terlalu serius dan penting dalam blog sederhana ini. Tulisan-tulisan yang ada hanya merupakan coretan tanpa makna yang muncul dari "ketidak seriusan" saya dalam membuat blog ini.

Blog ini hanya sebagai penyalur "uneg-uneg" saya tanpa bermaksud membuat orang berpikir terlalu serius. Lihat dan dengar berita di media massa, betapa banyak orang yang pada akhirnya bunuh diri karena terlalu serius menghadapi permasalahan hidupnya sehingga stress, dan ketika tidak mendapatkan jalan keluar dari masalah, akhirnya memilih jalan pintas untuk "keluar dari kehidupannya".

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

25 November 2009

SITU PATENGGANG

Bagi di facebook

(oleh Hamim Tohari)
 
Alhamdulillah, dalam weekend kemaren akhirnya saya sempat mengajak istri dan anak-anak saya refreshing, setelah menjalani masa-masa sibuk selama beberapa minggu sebelumnya. Tempat yang akhirnya menjadi pilihan untuk melepaskan penat adalah kawasan wisata Ciwidey, yang salah satu obyeknya adalah Situ Patenggang.

Menurut makna historisnya, nama Situ Patenggang berasal dari bahasa sunda yaitu situ yang berarti danau atau telaga, sedangkan patenggang berasal dari kata pateang-teang (saling mencari) yang akhirnya bermetamorfosa menjadi pateangan (tempat pencarian) dan kemudian menjadi patengan atau patenggang. Entah mana yang benar, yang jelas nama tempat wisata tersebut sekarang terkenal dengan Situ Patenggang yang berada di desa Patengan

Menurut legenda yang juga tertulis pada papan batu di pintu masuk, tempat tersebut pada jaman dahulu kala (entah kapan) merupakan tempat bertemunya Raden Indrajaya (Putra Prabu) dan Putri Rengganis (Titisan Dewi) setelah sekian lama berpisah dan saling mencari, sehingga kemudian disebut dengan Situ Patenggang (patengan, pateangan-teangan) dan ditandai dengan adanya sebuah batu di tengah-tengah danau yang disebut dengan Batu Cinta.  

Wallahu ‘alam bis shawab.


Terlepas dari makna historis atau legenda yang melatar belakangi (yang bisa dikarang oleh siapa saja), tempat tersebut bagi saya dan keluarga juga memiliki makna psikologis yang relatif sama yaitu tempat pencarian (pateangan) nuansa alami atau istilah kerennya back to nature , karena disana, kita yang hidup sehari-hari di lingkungan perkotaan dengan urban lifestyle dapat menemukan kembali lingkungan dan suasana alam seperti yang saya rasakan pada waktu kecil dulu. Kita yang sehari-hari menghirup udara perkotaan yang penuh polusi serta dipusingkan oleh kemacetan, panas dan lain-lain, dapat sejenak merasakan kesegaran alam untuk memulihkan kesegaran pikiran dan menghilangkan kepenatan.


Di dalam suasana hujan yang tidak kunjung berhenti, saya bermalam di sebuah pemondokan kecil yang menyerupai rumah panggung dengan dinding terbuat dari anyaman bambu. Sebuah nuansa pegunungan yang sebenarnya sangat menyenangkan apabila tidak diiringi oleh hujan yang turun sepanjang malam dan siang hari. Namun di tengah cuaca tersebut, udara menjadi sangat dingin hingga rasanya menyentuh sampai ke sumsum tulang, walaupun badan sudah terbungkus dengan jaket yang cukup tebal. Pemondokan kecil yang saya tempati untuk bermalam juga tidak memiliki penerangan yang cukup, sehingga jalan masuk dan suasana sekeliling pondok jadi gelap gulita. Di dalam ruangan juga tidak tersedia TV, kulkas atau pemanas air seperti yang layaknya tersedia di kamar-kamar hotel. Hanya sebuah kasur yang tergelar di lantai, untuk tidur manakala sudah ngantuk.


Malam itu keluarga saya serta beberapa keluarga rekan saya tidak dapat kemana-mana karena hujan yang tak kunjung berhenti. Akhirnya kami hanya menghabiskan waktu malam hari untuk menikmati dingin yang menusuk tulang dengan kongkow-kongkow di kolong rumah panggung sambil minum kopi dan masak mie instant dikelilingi oleh kegelapan malam di sekitar, hingga tiba waktunya ngantuk. Tidurpun juga tidak bisa nyenyak akibat dingin yang sulit di hilangkan walaupun sudah menggunakan selimut tebal.


Bagi mereka yang sudah terlalu nyaman dengan kehidupan di lingkungan kota yang serba gemerlap dan serba tersedia, kondisi tersebut rasanya sulit untuk diadaptasi, karena sense of nature mereka sudah semakin menguap tergantikan oleh urban lifestyle yang menuntut berbagai kegemerlapan dan kemudahan instant. Sulit rasanya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang serba terbatas dan serba tidak nyaman di tengah-tengah lingkungan alami seperti itu. Kehidupan alam perkotaan seolah-olah telah menurunkan ”survivabilitas” manusia di tengah-tengah kondisi ”alam liar” yang serba tidak menentu.


Memang bukan merupakan sesuatu yang bisa dihindari bahwa manusia cenderung berprinsip ”kalau masih bisa mudah, kenapa harus cari yang susah?” Kalau masih bisa mencari kenyamanan dan kesenangan di lingkungan perkotaan, kenapa harus menyengsarakan diri di tengah hutan yang serba tidak nyaman....?. Sebuah prinsip hidup yang sangat manusiawi dan tidak bisa disalahkan oleh siapapun.


Namun alangkah baiknya apabila kita juga menyadari bahwa salah satu persoalan terbesar yang dihadapi oleh manusia di muka bumi sekarang ini adalah permasalahan alam, yaitu global warming. Memang banyak sekali teori tentang global warming dan penyebabnya serta tidak semua manusia memiliki pendapat yang sama. Ada kelompok-kelompok atau pendapat tertentu yang mengatakan bahwa global warming adalah fenomena alam yang sudah menjadi keharusan dari siklus alam semesta tanpa ada kaitannya dengan tingkah laku manusia. Namun mayoritas teori berkeyakinan bahwa fenomena global warming lebih banyak diakibatkan oleh tingkah laku manusia yang merusak alam di muka bumi ini.


Kehidupan manusia yang semakin modern telah membawa pola pikir dan perilakunya untuk lebih ”urban”. Generasi demi generasi semakin dimanjakan dengan kemudahan-kemudahan akibat penggunaan teknologi yang berkembang secara cepat di lingkungan perkotaan. Sense of nature atau sensitivitas manusia terhadap ekosistem lingkungan semakin berkurang, bahkan manusia terkesan menjadi semakin jauh dan semakin asing dengan lingkungan alam di pegunungan atau pedesaan. Segala yang berbau pedesaan atau pegunungan dianggap kuno, ketinggalan jaman, nggak trendy, nggak gaul dan lain-lain.


Selain berkurangnya sense of nature dari manusia-manusia urban, saya juga melihat bahwa ”survivabilitas” dari generasi yang dilahirkan dan dimanja di tengah-tengah lingkungan perkotaan juga rendah. Banyak anak-anak yang tidak bisa beradaptasi dengan kegelapan, cuaca dingin, makan seadanya, tidur di rumah panggung dan lain-lain. Artinya adalah bahwa banyak generasi muda yang menjadi tidak siap menghadapi kerasnya kehidupan yang serba ”unpredictable”.


Saya sendiri sebenarnya sempat kuatir terhadap kondisi anak-anak saya, karena ketika mau berangkat, anak saya yang kecil agak demam. Tapi Alhamdulillah, anak saya justru terlihat menikmati suasana alam di pemondokan, walaupun tidur kedinginan di tengah-tengah kegelapan. Bahkan keesokan harinya anak saya yang agak demam sebelum berangkat, justru menjadi sehat dan ceria walaupun sempat kehujanan ketika berjalan-jalan dan naik perahu di Situ Patenggang. Dalam hati saya merasa kagum kepada anak-anak saya yang masih kecil dan berdoa mudah-mudahan mereka berdua dapat menjadi manusia-manusia yang kuat. Manusia-manusia yang memiliki ”survavibilitas” handal untuk menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan. Dan yang juga penting adalah, mudah-mudahan sense of nature mereka akan tetap terjaga hingga dewasa, sehingga mampu berbuat untuk mengurangi kerusakan alam akibat urban lifestyle yang rakus memporak-porandakan ekosistem lingkungan.


Ini adalah sekedar pengalaman weekend di Situ Patenggang. Apapun makna historis dan latar belakang legendanya, bagi saya dan keluarga lingkungan alam seperti yang terdapat di daerah wisata Ciwidey tetap merupakan sebuah patenggang atau pateangan (tempat pencarian) suasana alam untuk melatih survivabilitas dan sense of nature, setelah sekian lama hidup di tengah-tengah hiruk pikuknya alam perkotaan yang semakin sumpek.


(Baca selengkapnya......)

17 November 2009

SENGKETA KENTUT

Bagi di facebook

(oleh: Hamim Tohari)

Alkisah dalam sebuah hikayat, suatu hari Umar bin Khattab Al Faruq duduk-duduk bersama para sahabatnya. Hadir dalam majelis tersebut Jabir bin Abdullah. Di tengah majelis tiba-tiba saja tercium bau tidak sedap, kentut. Umar kemudian berkata, "Aku ingin yang memiliki bau ini segera berdiri kemudian berwudhu."


Akan tetapi sahabat Jabir bin Abdullah tidak ingin orang yang kentut melakukan perintah Umar tersebut, karena hal ini jelas akan membuatnya malu. Kemudian sahabat Jabir mempersilahkan semua berdiri dan berwudhu seraya berkata pada Umar, "Wahai Amirul Mukminin, bagaimana jika semua yang hadir disini berdiri dan berwudhu?"

Sahabat Umar bin Khattab menjadi takjub dengan kebijakan sahabat Jabir, berliau berkata, "Semoga Allah merahmatimu, engkau adalah sebaik-baik tuan di masa jahiliyah dan di masa Islam."


Subhanallah....


Beberapa waktu belakangan ini, kita bangsa Indonesia juga sedang dilanda fenomena bau kentut yang tiba-tiba saja menyeruak di tengah-tengah majelis penegak hukum. Sampai sekarang masih dilakukan proses pencarian fakta dan kebenaran asal-usul bau kentut tersebut. Masing-masing pihak telah saling menuduh bahwa pihak lain lah yang kentut dan menimbulkan bau, sehingga publik yang menyaksikan menjadi semakin bingung. Sementara publik sendiri juga telah terpecah menjadi kelompok-kelompok yang mendukung pihak-pihak yang berselisih. Melalui media teknologi, publik telah menunjukkan justifikasi masing-masing terhadap pelaku kentut yang menyebarkan bau busuk seantero negeri ini.


Dalam perkembangannya, ternyata yang dipersoalkan bukan sebatas pada siapa yang kentut dan menimbulkan bau, tetapi berpendar ke masalah-masalah lain, misalnya apa yang dimakan sehingga kentutnya bau?. Bahkan berkembang pula ke arah siapa yang memberi makan sehingga menyebabkan terjadinya kentut atau mengapa si tukang kentut mau diberi makan...............dan lain-lain. Pokoknya semakin rumit dan publik semakin bingung dengan pikirannya masing-masing.


Konflik kentut terus berkembang semakin panas hingga akhirnya sang Amirul negeri membentuk sebuah tim untuk melaksanakan penyelidikan dan memberikan rekomendasi untuk menyelesaikan sengketa kentut.


Tim yang dibentuk secara ad hoc dan independen telah bekerja keras selama beberapa hari untuk melakukan penyelidikan secara komprehensif dan bermuara pada rekomendasi kepada sang Amirul. Namun tetap saja, semua pihak dan publik pendukung terus menerus bertahan pada justifikasi masing-masing. Ketidak percayaan publik terhadap integritas moral majelis penegak hukum telah mengkristal sehingga walaupun sang Amirul negeri telah membentuk tim independen, masih juga muncul kecurigaan-kecurigaan. Misalnya tim itu dicurigai membawa kepentingan tertentu atau bekerja secara tidak profesional dan lain-lain. Sementara masih menunggu sang Amirul negeri mempelajari rekomendasi tim, sudah muncul lagi desakan untuk membentuk tim lain guna melakukan pembenahan majelis penegak hukum. Makin tambah memusingkan.....!


Yang jelas, dengan munculnya sengketa kentut ini, masyarakat dapat melihat semakin jelas bahwa penegakan hukum di negeri ini masih karut marut. Publik juga disuguhi tontotan yang menunjukkan bahwa "bisnis hukum" telah menjadi lahan mencari nafkah yang sangat menjanjikan. Bila dalam bisnis hewan kurban menjelang Idul Adha ini,  banyak makelar yang membantu para pembeli untuk mencari hewan kurban, maka dalam bisnis hukum juga banyak makelar kasus (MARKUS) yang mencari keuntungan dari berbagai kasus, sehingga "harga" penyelesaian sebuah kasus menjadi melambung tinggi, diatas "harga normal".



Lalu apa sebenarnya yang ingin diungkap dari bencana kentut ini? Kebenarankah....? atau keadilankah....? atau popularitas kah.... ?


Kalau yang dicari kebenaran, mestinya konflik kentut ini diselesaikan melalui jalur hukum dengan mengungkap fakta-fakta yang sebenarnya dan tidak didistorsikan kemana-mana, sehingga pelaku kentut yang sebenarnya dapat diungkap dan dipublikasikan serta diberi hukuman. Inipun mungkin akan sulit, karena bau yang disebarkan telah begitu menyengat busuknya, dan ada kemungkinan pelakunya tidak hanya satu pihak saja, tetapi semua pihak yang ada di majelis kentut secara bersama-sama. Apabila itu yang terjadi, maka majelis ini akan bubar dan tidak ada lagi institusi yang melakukan penegakan hukum di negeri ini. Mungkin cerita Petruk dadi Ratu di dunia pewayangan akan menjadi nyata di dunia manusia negeri ini, dimana seorang rakyat jelata tiba-tiba mengobrak-abrik tatanan akibat rusaknya lembaga-lembaga kenegaraan.


Kalau yang dicari keadilan, mungkin langkah sahabat Jabir dalam hikayat diatas patut ditiru, dalam arti bahwa penyelesaian sengketa kentut ini dapat membawa kebaikan kepada semua pihak tanpa membuat malu salah satu pihak. Masalahnya, sampai sekarang pihak-pihak yang berada dalam majelis masih saling ngotot dan tidak merasa kentut, sehingga tidak ada yang mau diajak berwudhu seperti para sahabat dalam majelisnya Umar bin Khattab.


Yang sebenarnya harus dihindari adalah pencarian popularitas. Artinya bahwa jangan sampai gara-gara desakan publik yang belum jelas juga kebenarannya, kemudian sang Amirul menjustifikasi salah satu pihak sebagai pelaku kentut. Karena sesuatu yang dianggap benar oleh banyak orang, belum tentu pada hakekatnya adalah benar. Harus ada pembuktian. Jangan sampai sang Amirul mengambil tindakan-tindakan populis yang hanya didasarkan atas desakan publik, karena ini dapat menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di negeri ini. Kita ingat betul betapa tumpulnya penegakan hukum pasca reformasi apabila tindakan-tindakan melanggar hukum itu dilakukan secara kolektif dan mengatasnamakan massa.


Sebaiknya penyelesaian sengketa kentut di negeri ini diawali dengan pencarian kebenaran, kemudian diselesaikan dengan prinsip keadilan dan mempertimbangkan aspek-aspek kepentingan publik.


Bagaimanapun juga, kentut tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Kentut telah ada dan akan tetap ada seiring dengan keberadaan manusia di atas bumi ini. Hanya saja kentut itu ada yang senyap dan ada yang bunyi dengan keras. Bau kentut juga sangat tergantung pada kuantitas dan kualitas makanan yang ditelah oleh manusia. Masalah kentut akan timbul manakala bunyi atau baunya mengganggu stabilitas kehidupan manusia di sekelilingnya.


Marilah kita tunggu perkembangan beberapa waktu ke depan untuk mengetahui penyelesaian sengketa kentut ini. Yang jelas, publik berharap agar sengketa kentut ini menjadi titik tolak perbaikan majelis penegakan hukum di negeri ini. Semua orang juga harus menjadikan moment ini untuk belajar "kentut dengan baik". Pilihlah makanan yang tepat sehingga kentut kita tidak bersuara dan tidak menimbulkan bau yang menyebabkan masalah bagi orang lain.


(Baca selengkapnya......)

04 November 2009

PASAR ANTRI

Bagi di facebook

(oleh: Hamim Tohari)
 

Sampai sekarang saya belum tahu dengan pasti hikayat atau asal muasal nama suatu tempat di samping kantor saya itu, kenapa disebut Pasar Antri…..? Yang saya tahu, 16 tahun yang lalu ketika pertama kali menginjakkan kaki ke Cimahi, Pasar Antri adalah sebuah “pasar kumuh" di sela-sela pertokoan yang seharusnya merupakan jalan raya. Lapak-lapak yang berisi segala jenis dagangan berjubelan, berhimpitan, campur baur jadi satu memenuhi ¾ jalan sepanjang kurang lebih 1 kilo. Akibatnya, jalan raya yang seharusnya menjadi tempat perlintasan mobil pun menjadi macet total. Hanya satu jalur mobil kecil yang bisa melewati tempat itu, dan memerlukan waktu yang lama hanya untuk menempuh jarak sekitar 1 kilo, karena harus berebutan dengan pedagang, sepeda motor dan pejalan kaki yang sama-sama tidak mau ngalah. Semua orang harus ngantri untuk berjalan, melintas, membeli, bahkan untuk buang air ke toilet. Itulah Pasar Antri.
Mungkin kehidupan sosial kita memang harus diwarnai dengan berbagai jenis antrian mulai dari antri pembagian BLT, antri pembagian zakat, antri airnya Ponari, antri mudik, hingga antri untuk dipanggil menjadi menteri. Ironisnya, antrian-antrian itu juga sering membawa korban baik korban nyawa seperti pada antrian zakat, BLT dan air Ponari, korban “sakit jiwa” para caleg tidak terpilih, hingga sekedar korban perasaan calon menteri yang sudah “kadung ngantri" tetapi akhirnya tidak terpanggil.


Antrian memang sering menjadi kelaziman ketika banyak orang menuju ke satu tujuan dengan bersamaan dan melalui jalan yang sama. Antrian seperti itu juga tidak akan menimbulkan masalah sepanjang semua orang memiliki persepsi yang sama bahwa memang itu satu-satunya jalan yang harus ditempuh serta saling bertoleransi selama dalam perjalanan. Masalah biasanya muncul ketika sudah mulai ada oknum-oknum yang mencoba untuk menyimpang dari “mainstream” lalu lintas jalan yang ditetapkan. Ketika sudah mulai ada oknum yang mencoba untuk mencari jalan pintas dan melanggar rambu-rambu yang ditetapkan pada jalan utama, maka para pengguna jalan utama kemudian menjustifikasi oknum tersebut melakukan pelecehan atau penistaan terhadap rambu-rambu di jalan utama yang telah diikuti mayoritas orang selama ini. Oknum-oknum itu kemudian dicap sebagai oknum yang "sesat".


Hari-hari dalam minggu kemaren media massa banyak diwarnai kembali dengan berita-berita tentang munculnya “aliran sesat” di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa Timur dimana masyarakat merasa resah dengan munculnya aliran Baha’i di Tulungagung dan Santri Loka di Mojokerto yang dicap sebagai “aliran sesat”. Hal ini menambah daftar panjang sejarah “aliran sesat” di Indonesia yang sudah muncul sejak beberapa abad yang lalu, dan entah kapan akan berakhir.


Kalau kita lihat ke belakang, fenomena “aliran sesat” ini telah berkembang beriringan dengan perkembangan budaya manusia. Fenomena ini terjadi di berbagai belahan dunia dan dialami oleh berbagai agama. Sekedar contoh saja, di dalam agama Kristen tercatat tokoh-tokoh seperti Iranaeus, Tertulian, Origen dan Lucian yang hidup pada abad-abad awal Masehi yang dianggap “sesat” karena pandangan-pandangan mereka yang menyimpang dari ajaran Injil. Di India juga pernah terdapat sebuah sekte yang melakukan ritual menyimpang dari ajaran agama Hindu sehingga dianggap sesat. Di dalam agama Islam, rasaya sudah sulit untuk menghitung jumlah “aliran sesat” yang pernah muncul di muka bumi ini, baik yang benar-benar sesatdianggap sesat. Sejak jaman setelah Rasulullah SAW, muncul beberapa “aliran sesat” pokok mulai Al-Haruriyyah, Al-Qodariyyah hingga Al- Mu’tazillah, yang kemudian berkembang terus menjadi sempalan-sempalannya yang menyebar ke seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia dan sampai yang terakhir ramai di bicarakan adalah Santri Loka. maupun yang sekedar


Yang menarik adalah realita bahwa fenomena seperti ini tidak banyak didengar terjadi di negara-negara barat atau negara sekuler dimana agama dan dinamika yang terjadi di dalamnya tidak terlalu dominan mewarnai kehidupan masyarakat. Masyarakat barat atau sekuler tidak begitu peduli dengan agama yang dianut oleh orang-orang di sekelilingnya, bahkan mereka bisa dengan terang-terangan mengaku tidak beragama atau memeluk agama yang notabene tidak masuk dalam kategori agama besar yang dianut mayoritas masyarakat dunia. Fenomena “aliran sesat” ini justru banyak terjadi di negara-negara yang “religius” dimana sensitifitas masyarakat terhadap masalah-masalah keagamaan masih begitu tinggi.


Intinya adalah bahwa apabila masyarakat sudah merasa mapan atau nyaman dengan sebuah “mainstream”“sesat”. Mungkin ketika pertama kali agama diperkenalkan kepada manusia menggantikan animisme, agama itu juga dianggap “sesat” oleh masyarakat pada saat itu, kemudian ketika sebuah agama yang lebih baru muncul dan “menggeser posisi” agama lama yang sudah mapan, maka agama baru itu juga dianggap “sesat” oleh penganut agama lama, dan demikian seterusnya, setiap muncul yang baru dan bertentangan dengan yang lama, maka yang baru akan mudah dianggap “sesat”. sosial, khususnya agama, maka mereka akan dengan mudah menganggap segala sesuatu yang berbeda arah atau bertentangan sebagai sesuatu yang


Anehnya, kadang-kadang ketika ada orang mencoba untuk berpikir "berbeda" dari kemapanan pola yang sudah ada, walaupun tidak melecehkan atau menistakan apa yang sudah ada, juga sering dicap sebagai pemikiran yang sesat. Contohnya, ketika kalangan intelektual muda Islam yang ingin melakukan perubahan paradigma berpikir melalui Jaringan Islam Liberal (JIL), maka ada pihak-pihak konservatif yang menganggapnya sesat. Bahkan ketika saya sendiri pun mencoba untuk berpikir "out of the box", maka ada rekan saya sendiri yang cenderung menganggap bahwa pemikiran saya adalah pemikiran yang sesat, karena menyalahi norma atau pakem yang sedang dan telah berlaku.


Hal inilah yang mestinya harus disikapi dengan sangat berhati-hati. Kita tidak bisa dengan serta-merta men-cap sebuah paham atau gerakan di tengah-tengah masyarakat sebagai sebuah “aliran sesat”. Ada institusi atau lembaga yang berwenang untuk menentukan apakah paham itu masuk pada katagori aliran sesat atau bukan dan itupun harus dilakukan melalui sebuah pengkajian atau penelitian yang komprehensif. Apabila aliran atau gerakan di masyarakat itu membawa label sebuah agama tetapi prakteknya menyalahi norma-norma yang ada dalam kitab suci agama tersebut, maka bisa dikatakan bahwa alliran itu adalah sesat dan menyesatkan, serta mengandung unsur pelecehan atau penistaan terhadap agama tertentu.


Tetapi bila muncul suatu aliran yang tidak berlabelkan agama manapun, hanya berbeda dari agama yang dianut mayoritas masyarakat, maka tidak bisa secara serta merta aliran tersebut dicap sebagai “aliran sesat” “sesat secara konstitusional” karena berada diluar agama-agama yang resmi diakui negara berdasarkan undang-undang, walaupun disana juga akan terjadi kerancuan “superioritas kedudukan” antara agama/kepercayaan dengan aturan perundang-undangan. Apakah aturan perundang-undangan yang bersifat “duniawi” dapat dipakai sebagai rujukan untuk menjustifikasi sebuah keyakinan atau kepercayaan yang lebih bersifat “samawi”…? dengan menggunakan referensi agama tertentu. Mungkin aliran tersebut dapat dicap


Seberapapun tingkat “kesesatan” suatu aliran, paham, kepercayaan atau gerakan di dalam masyarakat, hal ini tentu saja tidak serta merta terjadi dengan begitu aja. Tentu saja ada faktor-faktor yang mendorong bermunculannya “aliran sesat” selama ini, dan faktor-faktor inilah yang harus dievaluasi untuk mencegah bermunculannya “aliran sesat” pada masa-masa yang akan datang. Mungkin saja munculnya “aliran sesat” itu merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap dominasi agama mainstream, atau bisa juga merupakan buah dari kekecewaan dan keputus asaan manusia dalam mencari, dan menanti untuk bertemu serta berhubungan dengan Sang Khalik Pencipta dan penopang semesta raya ini.


Mungkin saja para pengikut “aliran sesat” itu merasa belum mampu menemukan harapan utopia mereka dalam kehidupan melalui agama-agama mayoritas yang berlaku sekarang ini, sehingga mereka mencari alternatif solusinya. Atau mungkin juga mereka menganggap ajaran agama yang ada sekarang lebih banyak berisi ancaman-ancaman sehingga mereka berusaha untuk mencari sesuatu yang lebih menjanjikan kenikmatan tanpa harus bersusah payah, dan itu yang kebanyakan dijanjikan oleh “aliran sesat”.


Sebuah hal yang menarik untuk dicermati adalah realitas bahwa kebanyakan pengikut “aliran sesat” yang pernah berkembang di Indonesia adalah masyarakat bawah dengan tingkat ekonomi yang masih rendah (mungkin aliran Lia Eden menjadi pengecualian). Hal ini juga mengindikasikan bahwa kemungkinan besar para pengikut “aliran sesat” itu mengharapkan mukjizat ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan dan penderitaan mereka, dan itu yang disatu sisi dijanjikan oleh pimpinan penyebar “aliran sesat” sedangkan di sisi yang lain belum mereka temukan di dalam agama-agama besar yang dianut oleh mayoritas masyarakat.


Ada sebuah pertanyaan yang perlu dijawab yaitu, cukupkah cap dan label “sesat” dan “penyesat”“YA”, pertanyaan baliknya adalah, apakah penganut agama mainstream juga bebas dari kesesatan dan penyesatan. Lalu, label “sesat” dari pihak mana yang bisa sah dipakai untuk umum dan apakah cap yang diberikan oleh mainstream terbukti valid? Apa dasar yang membuatnya menjadi valid? Solusi yang juga sering diberikan adalah mengharuskan pengembang ajaran baru untuk tidak memakai nama mainstream. diberikan dan dialamatkan kepada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai keyakinan berbeda dengan agama mainstream? Seandainya jawabannya adalah


Ajaran baru harus mempunyai namanya sendiri yang bebas dari nama mainstream. Pertanyaannya lagi, apakah nama baru menjamin sempalan dan sekte-sekte sesat tidak “diutak-atik” karena walaupun namanya baru, tetap saja ada bagian-bagian bahkan mayoritas ajaran mainstream yang diajarkan dengan berbagai variasi dan versi sang pengembang ajaran? Mampu dan maukah mainstream, dalam arti semua agama besar dan mayoritas, mengendalikan umatnya untuk tidak “usil” dan “jahil” kepada sebuah sempalan dan sekte baru.


Diperlukan kearifan untuk menyelesaikan masalah seperti ini. Tidak gampang dan perlu kerja keras. Bagaimanapun juga, ajaran dan sempalan “sesat” akan selalu ada. Masalahnya adalah bagaimana kita menjaga “gawang” kita supaya tidak kebobolan. Para tokoh agama perlu melakukan evaluasi secara jujur dan obyektif terhadap metode pembinaan umat yang dilakukan selama ini, apakah sudah menyentuh substansi permasalahan sosial kemasyarakatan yang paling dasar atau belum. Misalnya apakah metode pembinaan yang dilakukan selama ini sudah mampu memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan yang dialami oleh umatnya atau belum.


Metode ceramah keagamaan juga seharusnya tidak lebih banyak diisi oleh “ancaman-ancaman”, tetapi hendaknya diberikan dengan metode yang lebih menarik bagi ummat, yang bisa memunculkan senyum dan harapan ketika di dengarkan. Toh Tuhan juga bukan Maha Pemarah, tetapi Maha Pemurah lagi Penyayang.


Ibarat menertibkan jalan di depan Pasar Antri agar tidak macet setiap saat, semua harus ditertibkan dengan konsisten. Para petugas yang berwenang melakukan penertiban hendaknya secara konsisten menertibkan semua unsur yang ada di pasar antri dengan cara-cara yang ramah tetapi tegas, sehingga bisa diterima oleh semua pihak dengan kesadaran. Apabila terjadi antrian, maka tidak akan sampai menimbulkan kemacetan parah yang berakibat pada kekecewaan dan keputusasaan para pengguna jalan. Bila ini dapat dilakukan, besar harapan bahwa tidak akan banyak orang yang keluar dari antrian untuk menuju ke tujuan bersama. Tidak akan banyak orang yang melanggar rambu-rambu lalu lintas, karena petugas pun mengaturnya dengan ramah dan penuh senyum.


Tetapi itulah hakekat dari Pasar Antri, walaupun sudah dilakukan berbagai upaya penertiban, masih aja kemacetan terjadi setiap saat, dan masih juga banyak oknum yang mencoba menerobos dan melanggar rambu-rambu. Masih saja banyak orang yang mencoba (atau sudah terbiasa) berbuat “sesat”.





(Baca selengkapnya......)

02 November 2009

Pokok-Pokok Pemikiran tentang PERANG SEMESTA

Bagi di facebook


(Oleh: Hamim Tohari)


Sekedar berbagi kepada rekan-rekan yang mungkin belum sempat membaca buku tulisan Wakasad Letjen TNI JS. Prabowo yang berjudul Pokok-Pokok Pemikiran tentang Perang Semesta.

Walaupun hanya berupa “pokok-pokok pemikiran”, tetapi secara keseluruhan dalam buku ini Wakasad mencoba untuk meluruskan pemahaman yang “kurang tepat” selama ini tentang makna dari Perang Semesta. Memang banyak orang yang menganggap bahwa konsep Perang Semesta yang diwacanakan oleh TNI AD, dan mulai di legalisasikan melalui Kursus Strategi Perang Semesta (KSPS) di Seskoad atau Sekolah Strategi Perang Semesta (SSPS) di Unhan, adalah perwujudan kembali Perang Rakyat Semesta (People’s War) seperti yang dilakukan pada era perang kemerdekaan dulu. 



Banyak yang berpikiran bahwa Perang Semesta sama artinya dengan “perang bareng-bareng dengan rakyat”, dan menjadikan rakyat sipil (non-kombatan) menjadi kekuatan bersenjata (kombatan) pada saat perang untuk meraih kemenangan. Kalangan aktifis HAM kemudian mengkuatirkan hal ini akan berdampak pada pelanggaran atas Konvensi Jenewa dan lain-lain.


Wakasad dalam buku ini mengajak para pembaca untuk memahami Perang Semesta dengan terlebih dahulu menyamakan persepsi tentang pengertian perang sebagai sebuah “konflik berskala besar antar (beberapa) Negara atau didalam suatu Negara, yang terkait dengan masalah kedaulatan dan atau wilayah suatu Negara.”(hal. 9) Dengan pengertian ini, maka perang harus dipahami secara luas, baik dari segi wilayah territorial maupun motif dan musuhnya. Perang juga tidak berarti atau tidak harus menggunakan kekuatan bersenjata, melainkan berkait dengan pelibatan semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perang (war) harus dibedakan dengan pertempuran bersenjata (battle). Perang juga tidak berarti harus dilakukan melawan Negara lain (lintas Negara), tetapi dapat juga berupa konflik berskala besar yang terjadi dalam suatu Negara sepanjang itu berkaitan dengan masalah kedaulatan Negara, seperti perang melawan separatisme atau terorisme. Dengan demikian, maka Wakasad juga melihat adanya paradoks dalam pengistilahan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) (hal. 57) karena di dalamnya terdapat operasi untuk mengatasi pemberontakan bersenjata, separatis bersenjata dan terorisme, sementara dalam pengertian yang ditawarkan oleh Wakasad, ketiganya dikategorikan sebagai sebuah Perang.


Dengan terlebih dahulu membahas generasi peperangan yang sampai saat ini telah berada pada generasi ke empat (4GW), maka Wakasad mencoba menempatkan Perang Semesta ini pada lingkup jenis perang generasi keempat (4GW) ini, dimana perang lebih bersifat asimetris dan non linier.(hal 19-30) Perang juga lebih bersifat non-konvensional dengan lebih banyak memanfaatkan elemen-elemen non militer untuk mencapai kemenangan. Contoh-contoh kasus di berbagai belahan dunia yang dibawa oleh Wakasad sebagai ilustrasi dalam buku ini semakin memperjelas pemahaman pembaca tentang pengertian perang secara luas dan Perang Semesta itu sendiri.


Memang sulit untuk dipungkiri ketika kita membicarakan sebuah perang, yang terbayang adalah sebuah konflik berdarah yang diwarnai oleh dentingan senjata tajam yang beradu, letusan senjata api, ledakan bom dan lain-lain. Hal inilah yang juga masih terlihat dalam buku karya Wakasad ini, walaupun dari awal sampai akhir beliau mencoba untuk membawa alam pikiran pembaca tentang lingkup perang yang luas, tidak sekedar sebuah pertempuran bersenjata, namun berbagai contoh yang diberikan masih lebih banyak membicarakan jumlah korban, yang tentu saja sangat berkorelasi dengan penggunaan senjata.


Dalam membuat perbandingan antara Perang Semesta dan Total War, Wakasad menggambarkan bahwa lingkup Perang Semesta jauh lebih besar dari sekedar Total War yang merupakan rangkaian pertempuran bersenjata yang massif dan melibatkan banyak Negara. (hal. 64) Namun dalam ada sesuatu yang sedikit membingungkan dalam tabel perbandingan dimana disebutkan bahwa motif total war adalah politik, kemanusiaan, ekonomi dan perbatasan sedangkan motif perang semesta adalah kemerdekaan, revolusi, lawan insurjensi dan kedaulatan wilayah. (hal. 65) Hal ini agak membingungkan karena motif perang semesta yang diidentifikasi justru terkesan lebih berkaitan dengan penggunaan senjata, sementara motif total war lebih jauh sangkutannya dengan penggunaan kekuatan bersenjata. Ini tidak mendapatkan penjelasan yang memadai dalam buku.


Akhirnya Wakasad menawarkan berbagai langkah yang dapat ditempuh untuk mempersiapkan Perang Semesta ini mulai dari membangun sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial budaya, sistem teknologi dan sistem pertahanan. Kelima sistem tersebut perlu dibangun dan dikelompokkan dalam wujud komponen cadangan dan komponen pendukung. (hal. 82)


Bukan bermaksud untuk mengoreksi, namun barangkali ada satu hal yang tidak dibahas oleh Wakasad tetapi sangat penting untuk juga dibangun, yaitu membangun atau menumbuhkan kebanggaan nasional (national pride). Kalau kita pelajari secara mendalam, rakyat akan secara sukarela mempertahankan kedaulatan negaranya apabila mereka memiliki kebanggaan nasional yang tinggi kepada negaranya. Memang kelima sistem yang ditawarkan oleh Wakasad untuk dibangun merupakan bagian dari jalan untuk membangun kebanggaan nasional. Namun faktor kepemimpinan nasional yang kuat dan berkarakter juga merupakan faktor yang sangat mendukung terbangunnya kebanggaan nasional dalam suatu Negara bangsa.


Mungkin contoh nyata yang dapat dilihat dalam konteks ini adalah rakyat negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia bahkan negara-negara “antagonis” seperti Libya, Iran hingga Venezuela yang miskin di Amerika Selatan.
Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh associated press, terlihat bahwa dalam urusan national pride ini rakyat Amerika Serikat menempati urutan pertama karena rakyat mereka bangga dengan sistem demokrasi, pengaruh politik, ekonomi, ilmu pengetahuan serta militer.


Yang cukup mengejutkan adalah kenyataan terpilihnya salah satu “lawan politik AS” yaitu Venezuela di tempat kedua. Ternyata rakyat Venezuela memiliki kebanggaan terhadap negaranya akibat perkembangan bidang olahraga, seni budayadan kepustakaan, sejarah serta perlakuan adil terhadap semua kelompok masyarakat oleh pemerintahnya. Sebagian besar rakyat Venezuela percaya bahwa Presiden Hugo Chavez telah mampu menciptakan “sense” yang baru bagi masyarakatnya sehingga memunculkan sebuah kebanggaan nasional terhadap negaranya.


Kebanggaan nasional ini tentu saja akan dapat terwujud ketika keseluruhan sistem dalam sebuah negara berjalan dengan baik, termasuk kelima sistem yang ditawarkan oleh Wakasad. Hal itu perlu didukung oleh kepemimpinan nasional yang kuat dan mampu menciptakan good governance sehingga rakyat memiliki kepercayaan (trust) yang tinggi.


Secara umum, buku ini sangat bermanfaat untuk dibaca oleh para perwira TNI AD dan masyarakat luas, agar memiliki kesamaan pemahaman tentang makna Perang Semesta. Kesamaan persepsi terhadap konsep Perang Semesta serta perlunya penyiapan sejak dini antara TNI dan rakyat inilah yang diharapkan juga dapat menumbuhkan kesadaran untuk bahu membahu dalam menjaga kedaulatan NKRI dari setiap ancaman baik dari luar maupun dalam negeri.



(Baca selengkapnya......)

27 Oktober 2009

BALE SEGOLO-GOLO (post power syndrome)

Bagi di facebook

(oleh: Hamim Tohari)

Dalam kisah pewayangan terdapat cerita yang sangat terkenal yaitu Bale Segolo-golo. Kisah ini merekam intrik politik di negeri Astina pasca-meninggalnya Prabu Pandu Dewonoto. Mayoritas rakyat Astina, menghendaki para ksatria Pandowo melanjutkan pemerintahan Astina. Maka Adipati Drestoroto sebagai care taker pemerintahan memerintahkan Patih Sengkuni untuk merayakan pergantian pemerintahan di padang Bale Segolo-golo.

Tapi Joko Pitono, ksatria Kurowo anak Adipati Drestoroto, tidak legowo memberikan kekuasaan ke para satria Pandowo. Ia pun berkoalisi dengan Patih Sengkuni menyusun siasat jahat untuk menggagalkan dan merebut tahta dari Pandowo. Satu-satunya cara, Bimo dan saudara–saudaranya harus dibunuh. Kemudian cerita berkembang dan berkat kepiawaian sang dalang, penonton jadi tersihir dan terpaku di tempat duduknya masing-masing sambil minum kopi, makan gethuk goreng, kemplang, plenggong dan lain-lain hingga subuh.

Rasanya cerita intrik seperti ini masih sering dan terus menerus kita lihat dan dengar di kehidupan yang sudah semakin modern, dimana wayang sudah tidak lagi menjadi hiburan yang menarik, dikalahkan oleh bioskop, DVD, facebook dll. Tetapi para budayawan luhur yang hidup ratusan tahun yang lalu telah memiliki pemikiran-pemikiran yang universal dan long lasting, sehingga nilai-nilai dari warisan budaya yang diciptakan masih juga relevan walaupun di jaman yang sama sekali berbeda. Bale Segolo-golo adalah sebuah contoh kisah ke-tidak legowo-an manusia yang melihat keberhasilan orang lain, karena menganggap bahwa dirinya lah yang sebenarnya lebih berhak.

Memang sih, pada jaman yang sudah modern ini kisah intrik Bale Segolo-golo tidak banyak lagi yang berujung pada perang fisik dan saling membunuh secara fisik. Yang lebih sering terjadi adalah perang non fisik dan saling membunuh karakter melalui pernyataan-pernyataan di media. Namun apapun ujungnya, intrik seperti yang terjadi pada cerita Bale Segolo-golo ini masih sangat sering terjadi pada setiap persaingan atau “kejuaraan” dalam berbagai bentuk.

Dalam sebuah kejuaraan atau persaingan selalu ada pihak yang menang, dan sebaliknya selalu harus ada yang kalah. Itu sudah kodrat. Masalahnya apakah yang menang bisa menyikapi kemenangannya dengan bijak dan yang kalah bisa menerima kekalahannya dengan lapang dada (bukan besar dada…)?. Itu hal yang masih sulit dilakukan. Bagi yang menang, tidak pernah ada masalah, bagaimanapun cara untuk mencapai kemenangannya, yang penting sudah menang, sudah juara, tinggal mempertahankan dan mempertanggung jawabkan predikat juaranya. Tetapi bagi yang kalah, tersedia seribu alasan untuk “melindungi” kekalahannya. Yang paling sering dan gampang terjadi adalah menyalahkan sistem pertandingan atau wasit, alasan-alasan klasik. Ketika kemudian alasan-alasan itu sudah memenuhi isi kepala, maka yang muncul adalah “ke-tidak legowo-an” itu tadi. Tidak bisa menerima kekalahannya, dan menganggap bahwa lawan tidak seharusnya menjadi juara karena dianggap tidak lebih baik dan menempuh cara-cara yang tidak sehat. Pada akhirnya sang kalah enggan atau malu untuk mengucapkan selamat kepada sang menang. Bahkan ketika diundang pada acara penganugerahan gelar juara juga tidak datang dengan alasan bahwa dalam aturan pertandingan seorang yang kalah tidak diwajibkan untuk datang, demikian juga para mantan juara tidak diwajibkan untuk hadir pada ceremonial penyematan gelar bagi sang juara baru. Alasan yang sebenarnya sih…….logis, tapi kok aneh aja.

Secara yuridis formal memang tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk menghadiri sebuah undangan, tetapi secara moral etika, disana terdapat kewajiban untuk menghargai pihak yang mengundang. Artinya adalah, apabila tidak terdapat suatu halangan yang sangat berat, menghadiri sebuah undangan adalah suatu kehormatan, kehormatan bagi yang mengundang, sekaligus kehormatan bagi diri pribadi orang yang diundang. Kalaupun tidak bisa datang karena alasan yang sangat krusial, misalnya sakit atau sedang tidak ada ditempat, maka seyogyanya menyampaikan alasan tersebut kepada pihak pengundang sebelum acara dimulai. Tetapi kalau tidak menghadiri sebuah undangan dengan berlindung dibalik alasan-alasan yuridis, kok malah lucu. Disinilah kemudian muncul kesan ke-tidak legowo-an seseorang.

Dalam ilmu psikologi dikenal suatu penyakit yang berkaitan dengan sikap tidak legowo ini, yaitu Post Power Syndrome. Post power syndrome adalah gejala yang terjadi dimana ‘penderita’ hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (entah jabatannya atau karirnya, kepemimpinannya atau hal yang lain), dan seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini. Pada fase-fase tertentu di dalam kehidupan kita, kita bisa mengalami krisis-krisis semacam ini. Fase-fase dimana seseorang merasa tidak legowo atas kemenangan atau keberhasilan orang lain dan merebut gelar yang pernah dipegangnya.

Sifat tidak legowo, atau Post Power Syndrome ini sebenarnya juga merupakan sifat iblis yang muncul ketika Sang Maha Pencipta menciptakan sebuah makhluk yang bernama manusia. Sebelum penciptaan manusia, Iblis sebenarnya memiliki derajat yang paling tinggi diantara ciptaan Nya, bahkan melebihi malaikat. Namun kemudian dia tidak terima kalau posisinya yang superior tiba-tiba digantikan oleh makhluk yang dianggapnya lemah, bodoh, tidak menguasai bidangnya, bahkan unsurnya tidak sehebat unsur si Iblis.

Iblis merasa dirinya lebih baik dari Adam. Iblis merasa dirinya lebih ahli dari Adam. Iblis merasa dirinya lebih berhak dari Adam untuk semua wewenang dan kekuasaan yang diberikan Tuhan. Iblis merasa diperlakukan tidak adil oleh Tuhan. Mengapa seorang Adam yang dianggap ‘nobody’ tiba-tiba diangkat dan diberi hak dan wewenang sebesar itu.

Jiwa iblis berontak dan tidak terima atas ‘anugerah’ Tuhan kepada Adam. Buat iblis, apa yang Tuhan berikan kepada Adam bukan anugerah, tetapi ‘malapetaka’. Ya, malapetaka, karena libido kekuasaan iblis telah membangkitkan api cemburunya kepada Adam.

Maka reaksinya berbeda dengan para malaikat. Kalau malaikat dengan ketaatannya diperintahkan oleh Tuhan kemudian mereka bertasbih dan mau disuruh sujud kepada Adam, Iblis bereaksi sebaliknya. Baginya, sujud kepada Adam adalah hal yang harus dihindari. Tidak tidak mau mengakui wewenang yang Tuhan berika kepada Adam. Tidak mau sujud dan tidak mau mengakui bahwa Adam diberikan kekuasaan sebesar itu.

Jauh di lubuk hati Iblis ada perasaan luka, derita, sakit, perih dan kecewa. Ya, kecewa kepada keputusan Tuhan yang dianggapnya tidak adil. Kecewa karena ‘prestasi’ dirinya dianggap tidak ada dan sia-sia. Buktinya, Tuhan malah menunjuk Adam sebagai pemimpin alam semesta. Bukan dirinya. Padahal dirinya selama ini sudah sangat taat, tunduk dan telah mencurahkan semua perhatian kepada Tuhan.

Itulah Iblis, makhluk Tuhan yang dikutuk karena tidak mau menerima kenyataan bahwa dirinya sudah bukan makhluk yang berkuasa lagi. Iblis mengalami post power syndrome yang akut, di mana dia akan selalu menggangu dengan segala upaya, trik, siasat, celah dan metode.

Pelajaran yang dapat diambil dari cerita ini antara lain, jangan sekali-kali kita merasa diri kita akan berkuasa selamanya. Sebab Tuhan sangat mungkin mengganti kekuasaan di tangan kita dengan orang lain.

Ketika kekuasaan itu diberikan kepada orang lain, jangan ada perasaan tersisih, tergeser, minder atau dipermalukan. Sebaliknya, serahkan semua kepada Tuhan saja. Sebab kekuasaan, jabatan, kekayaan, wewenang dan lainnya, datang dari Tuhan. Hak Tuhan untuk mencabut semuanya dan kita jangan sakit hati, baik kepada Tuhan atau pun kepada orang yang menggantikan diri kita.

Jelas semua ini ujian, Iblis telah jatuh terperosok di dalamnya. Jangan sampai kita pun ikut terperosok di lubang yang sama dengan Iblis.

Kalau memang sudah tidak berkuasa, bersikaplah legowo. Berikan wewenang itu kepada orang baru yang ditunjuk. Belum tentu orang itu akan sukses dalam tugas dan amanahnya. Jangan jadi seperti Iblis yang malah tidak berhenti menggangu Adam dan keturunannya.

Inilah pelajaran penting yang perlu kita cermati bersama. Dan tragedi post power syndrome yang dialami Iblis ini sungguh merupakan tragedi besar yang menjadi latar belakang kehidupan manusia di dunia ini dan hubungannya dengan anak keturunan Iblis. Sampai hari kiamat, hubungan tidak harmonis antara anak keturunan Iblis dan anak keturunan Adam memang akan terus berlangsung.

Dari cerita diatas juga dapat dilihat bahwa sifat legowo ini sebenarnya merupakan salah satu sifat yang tertua karena telah ditunjukkan oleh malaikat sejak penciptaan manusia, sekaligus juga menjadi salah satu sifat yang paling sulit untuk dilaksanakan karena merupakan warisan iblis yang juga muncul sejak awal penciptaan manusia. Entah karena kebetulan atau kesengajaan yang didasari oleh pemikiran yang panjang, dalam ilmu kepemimpinan TNI juga dikenal 11 Azas Kepemimpinan yang menempatkan azas Legowo menjadi azas ke sebelas (paling akhir). Artinya adalah bahwa, legowo merupakan salah satu sifat terpenting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, tetapi mungkin merupakan hal yang paling sulit untuk diimplementasikan dibandingkan dengan sifat-sifat lainnya, makanya diletakkan di urutan ke 11.

Wallahu’alam




(Baca selengkapnya......)