Assalamu'alaikum Wr. Wb

Blog ini dibuat hanya sekedar untuk pengisi waktu luang, tidak ada yang terlalu serius dan penting dalam blog sederhana ini. Tulisan-tulisan yang ada hanya merupakan coretan tanpa makna yang muncul dari "ketidak seriusan" saya dalam membuat blog ini.

Blog ini hanya sebagai penyalur "uneg-uneg" saya tanpa bermaksud membuat orang berpikir terlalu serius. Lihat dan dengar berita di media massa, betapa banyak orang yang pada akhirnya bunuh diri karena terlalu serius menghadapi permasalahan hidupnya sehingga stress, dan ketika tidak mendapatkan jalan keluar dari masalah, akhirnya memilih jalan pintas untuk "keluar dari kehidupannya".

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

29 Januari 2009

KONROVERSI

Bagi di facebook

(oleh: Hamim Tohari)


Kalau kita mendengar istilah “kontroversi” pake “t” barangkali sudah tidak asing lagi artinya, yaitu sesuatu yang bertentangan, ada yang pro dan ada yang kontra. Tetapi kalau istilah “konroversi” tanpa “t” apa artinya?. Ya nggak ada… istilah ngawur aja….. karena di cari di kamus manapun nggak akan ketemu.

Saya gunakan istilah “konroversi” tanpa “t” karena tergelitik oleh adanya fatwa MUI tentang merokok yang masih “setengah-setengah”, dan kebetulan waktu sekolah di Seskoad saya suka makan sop konro di Jalan Riau. Mungkin karena masih banyak kiai atau ulama juga yang masih merokok, maka keputusan MUI tentang fatwa haramnya merokok juga masih setengah hati. Akhirnya hanya diputuskan bahwa merokok haram bagi anak-anak, perempuan hamil dan anggota MUI. Kok ada ya, hukum agama yang diberlakukan setengah-setengah dan dibuat di tengah jalan juga? Padahal dulu merokok tidaklah di haramkan, bahkan para mbahnya kiai jaman dulu juga banyak sekali yang merokok, kok sekarang tiba-tiba mau diharamkan. Terus bagaimana nasib para kiai yang sudah wafat dan dulunya merokok? Apakah di akhirat nanti beliau-beliau akan disiksa karena dosanya merokok yang diharamkan oleh kiai sekarang? Wallahu’alam. Yang jelas menurut akal pikiran saya yang bodoh dalam soal agama ini, walaupun ijtihad ulama dapat dilakukan untuk memutuskan suatu urusan yang tidak diatur dengan jelas dalam alqur’an dan hadits, namun hukum halal haram tetap saja merupakan hak prerogatifnya Tuhan.

Berkait dengan “fatwa mem fatwa”, saya pernah membaca sebuah ulasan yang cukup menarik, logis dan tidak tendensius dalam sebuah situs internet yang ditulis oleh seorang tokoh muda Islam yang tergolong moderat, berani dan kontroversial. Tulisan tersebut membahas berbagai kasus fatwa “kontoversial” yang dikeluarkan oleh ulama di berbagai Negara seperti Arab, Mesir, Malaysia dan Indonesia yang selama ini menjadi barometer kehidupan beragama (Islam). Fatwa-fatwa tersebut menjadi kontroversial karena tidak dikeluarkan oleh sebuah lembaga pusat agama yang berlaku universal, sehingga ada kelompok-kelompok ulama lainnya yang menentang fatwa tersebut.

Sebuah fatwa, meskipun dikeluarkan oleh ratusan atau (bahkan) ribuan ulama, tetap saja hanyalah sebuah pendapat saja. Umat boleh mengikuti, boleh pula mengabaikan. Sebuah fatwa bisa ditentang oleh fatwa lain. Istilah fatwa tentu mempunyai batasan, sehingga tidak bisa diterapkan kepada semua jenis pendapat. Fatwa biasanya dipakai untuk menyebut sebuah pendapat yang berkenaan dengan status hukum suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang Muslim. Oleh karena itu, fatwa umumnya dipakai dalam konteks pendapat yang berkenaan dengan hukum Islam atau fikih. Dengan demikian, pendapat seorang sarjana filsafat Islam tentang suatu isu tertentu dalam disiplin filsafat Islam tidak bisa disebut sebagai fatwa dalam pengertian yang “teknis” dari istilah itu.

Meskipun para ulama fikih mengatakan bahwa ijithad dalam Islam diikat oleh metode dan prosedur tertentu yang kurang lebih baku, tetapi jelas hasil ijtihad seorang ulama sangat ditentukan oleh banyak faktor, termasuk faktor-faktor di luar pertimbangan agama. ”Mind-set”, paradigma berpikir dan kecenderungan intelektual ulama bersangkutan juga menentukan hasil akhir dari suatu ijtihad. Bahkan latar belakang sosial-budaya dari ulama itu juga ikut mewarnai proses berijtihad yang ia lakukan. Jangan pula dilupakan, kedudukan sosial ulama juga ikut mewarnai pendapat dan fatwa seseorang. Ulama yang berada dan dekat dengan kekuasaan boleh jadi mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan ulama yang ada di luar atau punya kepentingan sendiri dan tanggung jawab lain terhadap umatnya.

Keadaannya persis seperti saat kita datang ke dokter lalu meminta pendapatnya tentang suatu penyakit yang anda derita. Pendapat dokter tersebut tentu bukanlah kata akhir, sebab kita bisa datang ke dokter lain untuk meminta “pendapat kedua”, atau malah ketiga, keempat, dan seterusnya. Makin banyak informasi yang anda punyai tentang penyakit yang kita derita, makin baik. Meskipun kita bisa saja memutuskan untuk percaya saja pada pendapat dari dokter pertama.


Isu yang penting untuk diperhatikan di sini adalah bahwa “konsumen” juga memiliki haknya sendiri untuk menimbang-nimbang sebuah pendapat yang ia peroleh, entah dari seorang dokter atau seorang ulama. Aspek peranan “konsumen” inilah yang kurang banyak dilihat dalam studi mengenai fatwa selama ini. Ada semacam asumsi bahwa begitu fatwa dikeluarkan oleh seorang ulama atau lembaga tertentu, maka dengan sendirinya umat akan mengikuti saja fatwa itu.Umat diandaikan sebagai obyek pasif yang harus menaati saja kata ulama, sebab apa yang dikatakan oleh ulama adalah kelanjutan saja dari “firman Tuhan”.


Kembali kepada fatwa tentang haram merokok, MUI salah satu daerah yang di wilayahnya terdapat pabrik rokok serta penghidupan sebagian besar masyarakatnya dari bertani tembakau ternyata menolak fatwa tersebut. Artinya bahwa fatwa yang dikeluarkan oleh MUI pusat (yang dekat dengan kekuasaan dan kepentingan berbagai organisasi) tidak berlaku bagi ulama di daerah lain yang masyarakatnya memiliki kepentingan sendiri.


Saya cenderung sepakat kepada pendapatnya seorang cendekiawan muslim yang diwawancarai di TV, yang mengatakan bahwa urusan seperti merokok tidaklah harus dijadikan sebuah urusan yang perlu di fatwakan. Toh sudah ada perda yang mengaturnya, sehingga tidak ada kelompok masyarakat yang akhirnya di rugikan. Bagi saya, apabila tindakan atau keputusan seseorang akhirnya membawa kerugian bagi orang lain, maka tindakan atau keputusan tersebut juga dapat dikategorikan sebagai dosa, artinya hukumnya juga haram.

Kalau fatwa-fatwa yang seperti ini terus menerus dikeluarkan, mungkin suatu saat dapat saja muncul fatwa yang menghalalkan sesuatu yang selama ini haram karena alasan alasan logis dan ilmiah, atau sebaliknya mengharamkan sesuatu yang selama ini halal, juga karena alasan ilmiah atau alasan kesehatan.

Saya ambil contoh yang sederhana saja, sop konro (salah satu makanan kesukaan saya) selama ini merupakan makanan yang halal sepanjang diolah sesuai dengan syariat dan yang pasti……uennakkk tenan. Tetapi tidak bias dipungkiri juga bahwa kebanyakan makan sop konro yang enak itu juga mengandung resiko-resiko berbahaya seperti kolesterol, kegemukan dan lain-lain yang mungkin secara medis dapat menyebabkan kematian, sama seperti rokok. Dengan alasan-alasan seperti itu, bias saja terjadi bahwa pada suatu saat akan dikeluarkan fatwa bahwa sop konro itu haram.

Itulah makanya saya sebut fatwa-fatwa seperti itu sebagai fatwa yang “KONROVERSI

yambung nggak ye…?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar