Assalamu'alaikum Wr. Wb

Blog ini dibuat hanya sekedar untuk pengisi waktu luang, tidak ada yang terlalu serius dan penting dalam blog sederhana ini. Tulisan-tulisan yang ada hanya merupakan coretan tanpa makna yang muncul dari "ketidak seriusan" saya dalam membuat blog ini.

Blog ini hanya sebagai penyalur "uneg-uneg" saya tanpa bermaksud membuat orang berpikir terlalu serius. Lihat dan dengar berita di media massa, betapa banyak orang yang pada akhirnya bunuh diri karena terlalu serius menghadapi permasalahan hidupnya sehingga stress, dan ketika tidak mendapatkan jalan keluar dari masalah, akhirnya memilih jalan pintas untuk "keluar dari kehidupannya".

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

24 Februari 2009

TANGGAPAN untuk BUKU SAKU PRAJURIT

Bagi di facebook

(Oleh: Hamim Tohari)

Ketika berbicara tentang Netralitas TNI dan Pemikiran Pimpinan TNI AD seperti yang diulas oleh KS pada tulisannya, sebenarnya penjelasannya sudah cukup panjang lebar disampaikan oleh pimpinan kita melalui edaran-edaran ke satuan-satuan, amanat-amanat pada upacara bendera maupun tulisan-tulisan lainnya yang bisa kita baca di media cetak maupun di website TNI, TNI AD dan DEPHAN. Intinya adalah bahwa walaupun telah digulirkan oleh berbagai pihak di kalangan legislatif maupun masyarakat tentang hak pilih TNI, namun untuk pemilu 2009 ini (atau menurut saya untuk situasi sosial masyarakat Indonesia saat ini) TNI masih tetap memilih netral demi tetap terjaganya keutuhan NKRI.


Kalau KS membuat tinjauan dari sisi tugas yang akan kita hadapi kedepan dan sosok atau profil prajurit TNI AD, maka saya berpendapat bahwa tugas dan profil prajurit TNI AD pada masa lalu, sekarang dan yang akan datang tidak pernah berubah, yaitu MENJAGA KEDAULATAN NEGARA DAN KEUTUHAN WILAYAH NKRI titik......!!!!. Dengan demikian yang dapat dijadikan sebagai bahan tinjauan adalah “tantangan dan kondisi sosial masyarakat Indonesia” pada masa sekarang dan yang akan datang.

Tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada masa yang akan datang memang akan semakin berat. Isu strategis yang klasik di jadikan sebagai pengaruh lingstra yaitu globalisasi, perkembangan teknologi informasi, gejolak ekonomi dan lain-lain memang merupakan tantangan yang tidak bias dihindari, bukan sekedar istilah-istilah klasik yang digunakan ketika menyusun skenario geladi posko.

Kita lihat bersama bagaimana pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat telah mempengaruhi kehidupan masyarakat global, termasuk masyarakat Indonesia. Pihak-pihak dengan kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompoknya dengan sangat mudah berkomunikasi dengan pihak-pihak di luar sana tanpa perlu beranjak sedikitpun dari tempat duduknya. Mereka juga dapat dengan sangat mudah membentuk opini publik tanpa harus teriak-teriak di jalan. Kemudahan-kemudahan tersebut apabila dimanfaatkan untuk meng “gol” kan cita-citanya dengan tambahan bumbu-bumbu politis dan gejolak ekonomi, maka akan menjadi suatu potensi ancaman yang sangat besar bagi keutuhan NKRI. Isu-isu pemekaran wilayah dengan latar belakang kepentingan-kepentingan primordialitas dan keuntungan-keuntungan ekonomis dan berkedok implementasi kebijakan Otonomi Daerah dapat dijadikan sebagai contoh potensi ancaman yang mengarah pada disintegrasi bangsa.

Upaya-upaya untuk mewujudkan pemekaran wilayah seringkali juga dilakukan dengan anarkhis dan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, baik harta benda maupun nyawa manusia. Semua itu karena kepiawaian para tokoh yang memiliki kepentingan tersebut untuk memanfaatkan perkembangan teknologi informasi (dan tentu saja..... kepiawaian memanfaatkan kondisi ekonomi yang rapuh) untuk membentuk opini publik sehingga mendapatkan dukungan.

Disisi yang lain, kondisi sosial masyarakat kita masih sangat memprihatinkan. Sentimen kedaerahan, kelompok kepentingan dan budaya-budaya yang dapat dikategorikan sebagai budaya primitif masih saja mengemuka dan mengalahkan rasa nasionalisme sebagai bangsa Indonesia yang harusnya mengedepankan kepentingan nasional kita sebagai bangsa yang besar. Potensi-potensi konflik sosial atau yang disebut oleh Samuel Huntington sebagai ”clash of civilization” masih cukup besar tersimpan di dalam masyarakat kita, yang apabila tidak dikelola dengan baik akan sangat mungkin mengancam kesatuan dan persatuan bangsa.

Kita perhatikan contoh-contoh aktual saja, dimana di berbagai daerah masih sering terjadi permusuhan atau pertikaian antar kelompok masyarakat, anggota legislatif berantem di lembaga negara yang terhormat, proses pilkada di berbagai daerah berlarut-larut dan diwarnai oleh bentrokan antar pendukung calon kepala daerah, mahasiswa tawuran antar fakultas, demo anarkis terjadi hampir setiap hari, pelajar sekolah tawuran hingga ke pertikaian antar institusi TNI dan Polri yang seharusnya menjadi pengawal persatuan dan kesatuan bangsa serta ketertiban masyarakat.

Sulit bagi kita untuk memperkirakan, kapan kondisi sosial tersebut akan dapat diperbaiki. Alasan keterpurukan ekonomi dan rendahnya tingkat pendidikan seringkali dikemukakan oleh para sosiolog untuk menganalisa permasalahan tersebut. Tetapi saya tidak sepenuhnya sependapat, karena ternyata para wakil wakyat yang terhormat dengan sederet gelar akademis pun masih melakukan hal-hal seperti orang-orang primitif yang tidak berpendidikan. Yang jelas, semua contoh tersebut diatas merupakan realitas sosial bangsa Indonesia pada saat ini dan masih akan menjadi tantangan di masa yang akan datang.

Kembali ke Netralitas TNI dan Pemikiran Pimpinan TNI AD, saya melihat bahwa dalam kondisi kehidupan sosial masyarakat kita saat ini, akan sangat riskan apabila TNI dan Polri diberikan hak pilih. TNI dan Polri adalah bagian dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Walaupun telah dibentuk, dididik dan dilatih secara khusus serta hidup dalam asrama yang tersendiri, namun pergaulan sosial antara prajurit dan anggota masyarakat, sedikit banyak akan berpengaruh terhadap sikap perilaku dan pola pikir prajurit TNI.

Sulit membayangkan seandainya seorang komandan satuan yang memiliki ratusan anak buah bersenjata kemudian berpihak pada salah satu partai atau calon tertentu dalam pemilu dan ternyata partai atau calon tersebut kalah. Bisa saja terjadi pimpinan partai atau calon yang kalah kemudian mempengaruhi sang komandan untuk melakukan protes atau demo dan kemudian mengerahkan prajuritnya. Sementara itu di sisi yang lain, ada prajurit yang berada pada pihak lain yang berseberangan. Dengan kecenderungan konflik yang masih besar seperti sekarang ini, hal tersebut merupakan potensi ancaman yang sangat besar terhadap kedaulatan negara dan keutuhan wilayah NKRI.

Kesimpulannya..... untuk masa sekarang ini, NETRALITAS TNI dalam pemilu adalah HARGA MATI demi tetap tegaknya NKRI.



1 komentar:

Dwi Endrosasongko mengatakan...

Sebenarnya ada juga pengaruh dari kultur budaya kita dan juga dalam dunia keprajuritan mempunyai suatu kekhasan dalam kehidupannya, yang tentunya hal tersebut dipengaruhi dan terikat oleh suatu hierarkie komando yang berlaku dan harus dipatuhi oleh setiap prajurit.Intinya saat ini kita belum siap baik secara mental maupun institusi dan aturan.Toh kalo suatu saat TNI tetap diharuskan untuk menggunakan hak pilihnya, tentu butuh waktu untuk transisi. Perlu pengkalian yang mendalam. Untuk saat ini saya sependapat sekali dengan penulis, NETRALITAS TNI DALAM PEMILU 2009 HARUS TETAP DIJAGA UNTUK TETAP MENJAGA SOLIDITAS TNI ITU SENDIRI.

Posting Komentar