Assalamu'alaikum Wr. Wb

Blog ini dibuat hanya sekedar untuk pengisi waktu luang, tidak ada yang terlalu serius dan penting dalam blog sederhana ini. Tulisan-tulisan yang ada hanya merupakan coretan tanpa makna yang muncul dari "ketidak seriusan" saya dalam membuat blog ini.

Blog ini hanya sebagai penyalur "uneg-uneg" saya tanpa bermaksud membuat orang berpikir terlalu serius. Lihat dan dengar berita di media massa, betapa banyak orang yang pada akhirnya bunuh diri karena terlalu serius menghadapi permasalahan hidupnya sehingga stress, dan ketika tidak mendapatkan jalan keluar dari masalah, akhirnya memilih jalan pintas untuk "keluar dari kehidupannya".

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

15 Maret 2009

SAHARA

Bagi di facebook

(sebuah pelajaran tentang taktik, kepemimpinan dan kemanusiaan)

(oleh: Hamim Tohari)


SAHARA adalah sebuah judul film yang ditayangkan TV dan kebetulan saya tonton pada Sabtu malam (Minggu dini hari) kemaren. Film tersebut berisikan penggalan kisah yang terjadi pada salah satu teater Perang Dunia II, yaitu perang memperebutkan TOBRUK di Afrika. Saya tidak tahu apakah cerita tersebut merupakan kisah nyata atau fiksi dengan bumbu-bumbu dan rekayasa untuk kepentingan komersial seperti lazimnya sebuah film Hollywood. Yang jelas, terlepas dari itu semua, cerita yang disajikan oleh film tersebut sangat menarik. Sekelompok kecil prajurit sisa pasukan sekutu yang dihancurkan oleh pasukan Jerman, pada akhirnya dapat menghancurkan 1 Batalyon Infanteri Jerman dan menyelamatkan induk pasukannya di El Alamein.

Bagi kita yang telah mempelajari masalah-masalah taktik dan menganut pola 1 banding 3 dalam pengerahan pasukan pada perang konvensional, cerita dalam film SAHARA tersebut terkesan terlalu mengada-ada, karena nyaris mustahil 9 orang dapat memporak-porandakan 1 Batalyon Infanteri musuh yang berkekuatan 500 orang. Tetapi apabila kita analisa dengan sedikit lebih mendalam, kemenangan 9 orang tersebut bisa menjadi logis dan masuk akal. Situasinya berbeda dengan ”perang-perangan” yang dimainkan oleh Arnold Scwarzeneger dalam film Commando atau Sylvester Stallone dalam film Rambo yang memang sangat tidak masuk akal serta hanya mengedepankan komersialitas heroisme Amerika ala Hollywood.

SAHARA mengisahkan bahwa pasukan Amerika hancur lebur diserang oleh Jerman di gurun Sahara dan hanya menyisakan 3 orang prajurit Kavaleri yang berhasil selamat dan membawa sebuah Tank untuk meloloskan diri, dipimpin oleh seorang sersan. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan 5 prajurit Inggris dari Batalyon Kesehatan dengan pimpinan seorang Kapten dan memiliki anggota dengan latar belakang kebangsaan yang beragam, ada yang dari Ingrris, Perancis dan Australia. Mereka juga merupakan sisa dari pasukan yang telah dihancurkan oleh Jerman. Akhirnya mereka bergabung menjadi 8 orang dan bersama-sama mencari jalan keluar dari gurun Sahara yang maha luas tersebut. Kelompok itu menjadi 9 orang setelah di tengah jalan mereka bertemu seorang prajurit Inggris berpangkat Sersan Mayor yang berasal dari Sudan dan membawa seorang tawanan perang dari Italia.

Bagian heroik dari film tersebut dimulai ketika mereka telah kehabisan bekal air minum dan akhirnya menemukan sebuah sumur tua di dekat reruntuhan bangunan. Mereka menduduki dan menguasai daerah tersebut dan akhirnya berhasil menghancurkan Batalyon Infanteri Jerman yang memiliki 500 orang prajurit yang kehausan dan rendah morilnya karena telah berhari-hari tidak mendapatkan air minum. Secara taktis, rasanya sangat mustahil kelompok kecil yang baru tergabung sehari dan hanya berjumlah 9 orang itu dapat mengalahkan 500 orang prajurit yang telah terorganisir dalam 1 Batalyon Infanteri, karena perbandingannya terlalu jauh, 1 : 55. Padahal mereka dalam posisi bertahan yang seharusnya perbandingannya adalah 1 : 3. Tetapi mari kita analisa lebih jauh.

Dalam ilmu taktik kita, ketika membicarakan peluang keunggulan atau kemenangan sebuah pertempuran, kita mengenal istilah ”Perbandingan Daya Tempur Relatif”. Daya tempur yang diperbandingkan dapat berupa daya tempur fisik seperti kekuatan satuan manuver (jumlah personel), tank, meriam armed, penguasaan medan dan sebagainya, serta daya tempur non fisik yang meliputi moril, dukungan rakyat (lingkungan), kepemimpinan dan lain-lain. (mungkin dapat juga dimasukkan ”kenekadan”)

Dalam hal daya tempur fisik, secara kuantitatif kelompok kecil yang hanya berjumlah 9 orang tersebut akan dengan sangat mudah dihancurkan oleh 500 prajurit musuh. Tetapi mereka memiliki beberapa keunggulan yaitu, mereka masih memiliki 1 unit Tank beserta amunisinya, sedangkan yang dihadapi adalah Batalyon Infanteri murni yang tidak diperkuat oleh unsur Tank maupun Meriam Armed. Ketika pasukan Jerman menyerbu, Tank tersebut dapat dengan mudah bermanuver dan mencerai beraikan formasi serbuan musuh dan menghancurkannya dengan tembakan kanon dari jarak dekat.

Keunggulan berikutnya adalah bahwa kelompok ini lebih menguasai medan dan mereka memasang ranjau-ranjau darat hasil rampasan dari pasukan Jerman yang tertangkap ketika mencari sumur air. Keunggulan penguasaan medan ini juga didukung oleh situasi ketidak tahuan musuh tentang jumlah mereka. Disisi yang lain, mereka telah mendapatkan informasi yang lengkap tentang jumlah dan kondisi musuh dari tawanan yang berhasil mereka tangkap dan diinterogasi. Dengan memanfaatkan senapan-senapan mesin yang mereka miliki, musuh yang menyerbu dengan formasi bersyaf di tengah padang pasir yang tidak terlindung dapat dengan mudah dibabat dengan tembakan dari ketinggian bangunan dan menimbulkan kerugian yang besar.

Secara non fisik, keunggulan daya tempur yang mereka miliki adalah moril (atau mungkin bisa dikatakan sebagai ”kenekadan”). Walaupun baru bergabung sehari dengan latar belakang yang berbeda-beda dan tidak saling mengenal sebelumnya, namun mereka dengan cepat dipersatukan secara emosional oleh kondisi yang sama. Mereka sama-sama membenci Nazi dan mereka sama-sama merupakan sisa pasukan yang dihancurkan oleh Jerman. Bagi mereka, menghadapi pasukan Jerman atau menghindarinya memiliki resiko yang sama, yaitu mati. Dengan pertimbangan tersebut, akhirnya mereka memilih untuk menghadapi pasukan Jerman dan menimbulkan kerugian yang besar untuk, setidak-tidaknya, menghambat gerakan pasukan Jerman dan memberikan ruang dan waktu bagi pasukan Sekutu di El Alamein untuk menyusun kekuatan. Keunggulan moril ini juga didukung oleh penguasaan mereka terhadap sumur air yang merupakan satu-satunya sumur yang masih dapat di manfaatkan di wilayah tersebut.

Di sisi yang berlawanan, pasukan Jerman telah mengalami kelelahan dan kehausan yang luar biasa akibat telah berhari-hari tidak menemukan air dan bekal air minum mereka telah habis. Ketika dalam sebuah negosiasi antara Danyon Jerman dan pemimpin kelompok ditawarkan pertukaran antara air minum dan senjata, maka sebagian besar pasukan Jerman memilih untuk meletakkan senjata demi air minum, walaupun pada akhirnya mereka tetap melanjutkan serangan karena perintah dari Danyon, tetapi kondisi morilnya sudah sangat lemah.

Dengan analisa perbandingan daya tempur fisik dan non fisik ini, maka kemenangan kelompok 9 orang melawan 500 orang ini menjadi lebih logis dan masuk akal secara taktis.

Pelajaran lain yang dapat dipetik dari SAHARA adalah nilai-nilai kepempimpinan lapangan dan etika kemiliteran yang ditunjukkan oleh kelompok kecil tersebut. Dalam aspek kepemimpinan lapangan, ada yang menarik dari kisah di film itu. Dalam kelompok 9 orang tersebut terdapat seorang Kapten yang memimpin sisa pasukan dari Batalyon Kesehatan Inggris, seorang Sersan yang memimpin Tank beserta 2 orang prajurit Amerika serta seorang Sersan Mayor berkebangsaan Sudan yang survival sendirian. Secara normatif, seharusnya sang Kapten yang memimpin kelompok tersebut, namun karena mereka sangat tergantung pada Tank sebagai sarana angkut untuk keluar dari gurun Sahara, maka akhirnya mereka mengangkat sang Sersan sebagai pemimpin kelompok. Kebetulan Sersan tersebut memang merupakan seorang prajurit yang sangat berpengalaman dan memiliki keahlian dan dedikasi yang menonjol, sementara sang Kapten menyadari bahwa sebagai seorang dokter dia tidak memiliki pengalaman yang memadai di medan tempur. Disisi yang lain, Sersan Mayor dari Sudan telah merasa menjadi minoritas karena dia sendirian dan beruntung bisa bergabung dengan kelompok tersebut.

Dalam situasi pertempuran, kepemimpinan lapangan sangat berkaitan dengan kemampuan mengambil keputusan yang cepat dan tepat serta mempertimbangkan resiko yang dihadapi, kemampuan menjaga moril dan kebersamaan serta semangat anggotanya serta keberanian tampil di depan dalam menghadapi bahaya. Kualitas kepemimpinan lapangan yang seperti itulah yang ditunjukkan oleh Sersan dari Kavaleri Amerika sejak awal cerita sampai akhirnya memenangkan pertempuran melawan Batalyon Infanteri Jerman.

Ketika pasukan Kavaleri Amerika telah dihancur leburkan oleh Jerman dan hanya menyisakan 3 orang prajurit dan 1 buah Tank, sang Sersan langsung mengambil inisiatif dan keputusan untuk membawa 2 orang anggotanya mencari jalan keluar dari gurun Sahara yang seolah-olah tidak berbatas tersebut. Pada saat bertemu dengan kelompok pasukan Inggris yang dipimpin oleh seorang Kapten, keputusan itu tetap dipertahankan walaupun pada awalnya mendapatkan penolakan. Prajurit kesehatan Inggris yang semula ingin bertahan di tengah gurun sambil menunggu datangnya bantuan, yang entah kapan akan datang karena komunikasi radio pun tidak ada, akhirnya mengikuti rencana sang Sersan dan mengangkatnya sebagai pemimpin.

Kemampuan sang Sersan sebagai pemimpin lapangan untuk tetap menjaga moril dan semangat serta kebersamaan anggotanya juga senantiasa ditunjukkan sepanjang cerita, dimana ketika ada prajurit yang terluka, Sersan tersebut selalu memberikan dorongan moril dan motivasi dengan cerita-cerita heroik dan perkataan-perkataan yang membangkitkan semangat. Pada saat kelompok tersebut menemukan sumber air yang hanya menetes dan perlu waktu lama untuk menampungnya, dia selalu mendahulukan anggotanya untuk dapat meminum air tersebut. Apa yang dia miliki dan disukai oleh anggotanya selalu dibagi sehingga kebersamaan, moril dan penghargaan terhadap pemimpin tetap dapat dijaga. Sifat seperti itulah yang pada akhirnya mampu menjadi penyemangat seluruh anggota kelompok untuk bertahan dan menghadapi musuh dengan jumlah yang jauh lebih besar.

Kemampuan memgambil keputusan dan keberanian menghadapi resiko yang diperhitungkan sangat jelas terlihat ketika sang Sersan memutuskan untuk bertahan di sumur air menghadapi 500 orang pasukan Infanteri Jerman. Berdasarkan informasi yang didapat dari tawanan, sang Sersan membuat kalkulasi dan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan resiko yang akan dihadapi dengan cepat sebelum akhirnya membuat suatu keputusan yang di sertai keberanian luar biasa. Di dalam sebuah pertempuran, semua hal tidak ada yang bisa diperhitungkan secara pasti. Namun pengalaman dan naluri tempur yang dimiliki oleh sang Sersan telah membantunya untuk secara jeli membuat kalkulasi perbandingan daya tempur relatif. Walaupun tetap bersifat spekulatif namun kejelian tersebut akhirnya berujung pada kemenangan.

Ketika sang Sersan sudah pada keputusan untuk menghadapi musuh, dia tidak memainkan wewenang komandonya untuk memberikan ”perintah mati” kepada prajurit-prajurit yang ada di dalam kelompoknya, tetapi ”menawarkan” apakah mereka akan mengikuti keputusannya atau tidak dengan menyampaikan argumen tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dengan cara itulah, akhirnya seluruh anggota kelompok, dengan keyakinan yang tinggi terhadap pemimpinnya, mendukung keputusan yang diambil.

Aspek kemanusiaan juga dapat dilihat dalam cerita film SAHARA. Ketika kelompok 8 orang tersebut dalam perjalanan dan bertemu dengan prajurit Sudan yang membawa tawanan Italia (musuh sekutu dalam perang Afrika), pada awalnya sang Sersan sebagai pemimpin membuat keputusan untuk meninggalkan tawanan tersebut di tengah gurun dengan memberi bekal minum. Pertimbangannya adalah bahwa mereka sedang ”bertempur” untuk mempertahankan hidup mereka sendiri dibawah ancaman musuh yang dapat menyerang sewaktu-waktu di tengah gurun pasir yang maha luas, sehingga adanya tawanan perang yang dibawa akan memperberat beban mereka. Namun setelah berjalan beberapa saat dan terjadi diskusi tentang nilai-nilai kemanusiaan di tengah-tengah para anggota kelompok, akhirnya tawanan perang Italia tersebut dibawa dan diperlakukan dengan baik. Demikian pula ketika mereka menangkap pilot Jerman yang pesawatnya berhasil dijatuhkan serta ketika menangkap prajurit Jerman yang menjadi pesuruh untuk melacak sumur air, semua diperlakukan dengan baik dan pada akhirnya memberikan kontribusi bagi kemenangan mereka atas pasukan Infanteri Jerman.

Demikianlah nilai-nilai yang dapat dipelajari dari sebuah film, terlepas dari argumentasi bahwa cerita dalam film tersebut tidak sepenuhnya merupakan kisah nyata dan telah dibumbui oleh berbagai rekayasa untuk kepentingan komersiil.






3 komentar:

peacekeeper mengatakan...

Saya kira ini langkah yang bagus bagi para Pa lulusan Dikreg Seskoad untuk Catch up w/ technology. Selamat dan maju terus, buktikan bahwa angkatan 46 adalah angkatan pilihan dan siap memperbaiki berbagai kekurangan yang masih dihadapi TNI khususnya TNI AD saat ini.
(Kol Imam Edy Mulyono, Dosen)

Hamim mengatakan...

Wah, terima kasih Bang atas komentarnya. Tersanjung sekali rasanya kalau blog ini juga dikunjungi oleh para Dosen. Kami juga akan sangat senang jika para Dosen ada yang menyumbangkan tulisan untuk dimuat, biar blog ini tambah rame

BacaSinopsis mengatakan...

Film yang lumayan menarik meski gak luar biasa buat saya, McConaughey bermain bagus di film ini.

Posting Komentar