Assalamu'alaikum Wr. Wb

Blog ini dibuat hanya sekedar untuk pengisi waktu luang, tidak ada yang terlalu serius dan penting dalam blog sederhana ini. Tulisan-tulisan yang ada hanya merupakan coretan tanpa makna yang muncul dari "ketidak seriusan" saya dalam membuat blog ini.

Blog ini hanya sebagai penyalur "uneg-uneg" saya tanpa bermaksud membuat orang berpikir terlalu serius. Lihat dan dengar berita di media massa, betapa banyak orang yang pada akhirnya bunuh diri karena terlalu serius menghadapi permasalahan hidupnya sehingga stress, dan ketika tidak mendapatkan jalan keluar dari masalah, akhirnya memilih jalan pintas untuk "keluar dari kehidupannya".

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

17 Juni 2009

MENCIPTAKAN DAYA TANGKAL PERTAHANAN MELALUI PEMBINAAN TERITORIAL

Bagi di facebook
(Solusi atas permasalahan kecilnya anggaran Negara di bidang pertahanan)

(oleh: Hamim Tohari)

Civis pacem parabellum, sebuah adagium latin yang berarti “apabila ingin damai, maka siaplah untuk berperang,” telah begitu lekat di telinga ketika membicarakan persoalan-persoalan seputar pertahanan Negara serta menjadi topik yang sangat sering dibicarakan di berbagai diskusi atau seminar yang berkaitan dengan pertahanan Negara. Berbagai teori strategi sejak era klasiknya Sun Tzu hingga ke era modernnya Liddell Hart telah banyak menyinggung ungkapan tersebut dalam sudut pandang strategis beserta implementasinya di berbagai ruang dan waktu yang berbeda.

Sejarah peradaban manusia telah mencatat bahwa kecenderungan manusia atau bangsa untuk berkuasa atas bangsa lainnya sangat besar dengan berbagai alasan mulai dari rivalitas personal para pemimpin hingga perebutan sumber daya alam. Pada sebagian besar sejarah perang atau invasi atas suatu bangsa oleh bangsa lainnya, terlihat bahwa invasi dilakukan oleh Negara yang kekuatannya lebih besar kepada Negara lainnya yang lebih lemah. Ketika sebuah Negara dianggap kuat oleh Negara lain, maka kecenderungan untuk diinvasi akan menjadi kecil, inilah yang kemudian disebut sebagai daya tangkal pertahahanan. Dengan demikian ungkapan latin tersebut dapat diartikan secara lebih luas bahwa apabila suatu Negara atau bangsa menginginkan sebuah perdamaian di negaranya, terbebas dari kekuatiran atas ancaman Negara lain, maka Negara atau bangsa tersebut perlu memiliki kekuatan pertahanan yang memadai.

Sebagaimana diatur dalam UU Pertahanan Negara yang dijabarkan hingga level Kebijakan Umum Pertahanan Negara (Perpress No 7 Th. 2008), pertahanan negara diarahkan untuk menciptakan daya tangkal yang optimal. Dengan demikian, maka penangkalan adalah substansi yang paling fundamental dari strategi pertahanan. Strategi pertahanan modern tidak sekadar bagaimana upaya pertahanan negara menghancurkan musuh, tetapi bagaimana menciptakan kondisi yang mempengaruhi calon lawan mengurungkan niatnya untuk menyerang. Upaya penangkalan diarahkan untuk semaksimal mungkin membangun kesan bagi calon lawan bahwa menyerang Indonesia akan berujung pada kegagalan dan kehancuran memalukan.

Bagi Indonesia, ancaman invasi terbuka dari Negara lain atau perang secara konvensional merupakan sebuah kemungkinan yang sangat kecil terjadi. Namun ancaman-ancaman lainnya terhadap integritas NKRI sangat potensial terjadi, bahkan beberapa diantaranya merupakan ancaman-ancaman faktual yang telah dihadapi oleh bangsa dan Negara Indonesia. Lepasnya beberapa wilayah terluar dari kedaulatan NKRI serta pelanggaran wilayah kedaulatan dan provokasi oleh Negara lainnya menunjukkan bahwa integritas kedaulatan NKRI masih rentan terhadap ancaman.

Permasalahan-permasalahan faktual tersebut merupakan indikator besarnya potensi ancaman terhadap integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa banyak Negara yang melihat Indonesia sebagai sebuah Negara yang tidak memiliki kekuatan pertahanan yang patut diperhitungkan. Dengan kata lain, daya tangkal pertahanan Indonesia masih sangat rendah untuk dapat menjaga kedaulatannya sendiri. Keterbatasan kemampuan anggaran Negara untuk membeli alutsista pertahanan seringkali dijadikan kambing hitam atas persoalan-persoalan yang muncul berkait dengan rendahnya kemampuan pertahanan Negara.

Saat ini, kekuatan angatan perang (militer) Indonesia berada pada titik yang sangat memprihatinkan. Pembangunan kekuatan dan kemampuan telah terabaikan selama kurun waktu yang cukup lama. Alutsista TNI berada pada kondisi terendah dan telah menjadi “kuburan” bagi prajurit-prajuritnya sendiri. Berbagai kecelakaan latihan yang disebabkan oleh ketidak siapan operasional alutsista baik di darat, laut dan udara, mulai dari tenggelamnya Tank Marinir, peluru meriam nyasar hingga jatuhnya pesawat terbang dan helikopter menjadi rentetan keprihatinan, sekaligus realitas yang menunjukkan betapa lemahnya kesiapan angkatan perang kita pada saat ini.

Dengan melihat realitas itu, mata rakyat Indonesia beserta para policy makers mulai terbuka bahwa mutlak bagi sebuah Negara untuk memiliki kekuatan pertahanan sebagai deterrence power agar tidak diremehkan oleh Negara lain. Tapi apakah itu sudah cukup….? Kita tunggu saja.

Yang pasti, walaupun permasalahan alutsista ini telah dijadikan komoditas politik dalam rangka pilpres ini, kita tetap harus realistis dalam menyikapinya. Walaupun ada capres/cawapres yang menjanjikan untuk memenuhi alutsista TNI dalam waktu 3 bulan apabila terpilih, anggap saja itu sebagai sebuah bualan besar sekedar untuk menarik simpati pemilih. Kenyataannya, membeli alutsista dari Negara lain tidak sama dengan membeli cabe di pasar yang barangnya tersedia banyak dan begitu uang dikasih, cabenya bisa langsung dibawa pulang untuk digunakan. Kalau mau memproduksi sendiri, itu juga tidak sama dengan memproduksi ketapel yang tidak memerlukan proses lama serta bahannya telah tersedia. Semuanya perlu proses yang panjang.

Selain itu, masih banyak bidang yang harus mendapatkan perhatian serius dalam pembangunan Negara ini selain bidang pertahanan. Dalam bidang pertahanan sendiripun, pemenuhan alutsista juga bukan satu-satunya hal yang harus dikerjakan. Peningkatan kesejahteraan prajurit dan keluarga, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan serta latihan, pangkalan dan lain-lain juga harus diperhatikan. Dengan demikian, kita belum boleh bermimpi untuk segera memiliki alutsista atau mesin perang seperti Negara-negara yang sudah maju. Namun demikian, penciptaan daya tangkal pertahanan Negara tetap harus diperhatikan agar kita tidak dipandang remeh oleh Negara tetangga sehingga mereka berani memprovokasi konflik seperti yang terjadi di Blok Ambalat akhir-akhir ini.

Masyarakat Indonseia tentu saja merasa terusik nasionalismenya ketika negara tetangga memprovokasi konflik terbuka dengan klaim sepihak atas beberapa wilayah terluar, tindakan yang tidak manusiawi terhadap TKI maupun penembakan terhadap kapal Indonesia di wilayah perairan Indonesia sendiri oleh kapal asing. Rakyat Indonesia ingin melakukan sesuatu, tetapi tidak memiliki kekuatan yang memadai untuk melakukannya.

Sebagai sebuah Negara yang merdeka dari imperialisme asing berkat perjuangan seluruh rakyat, sebenarnya Indonesia memiliki kekuatan pertahanan yang sangat besar, yaitu kekuatan pertahanan semesta yang melibatkan seluruh komponen bangsa. Namun sistem pertahanan semesta yang dimiliki Indonesia tentu saja berbeda dengan sistem pertahanan dengan mobilisasi umum yang dimiliki oleh Negara-negara kecil seperti Singapura dan Israel yang dikenal dengan sebutan National Resilience dimana setiap warga Negara telah dilatih melalui kegiatan wajib militer dan diatur untuk menduduki jabatan militer tertentu pada saat Negara menghadapi perang. Pelibatan rakyat Indonesia masih diharapkan pada dukungannya terhadap komponen utama pertahanan Negara, yaitu TNI, dalam menghadapi setiap ancaman yang mungkil timbul terhadap integritas NKRI.

Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat sebagai bagian integral dari TNI mempunyai tugas pokok menegakkan kedaulatan negara di darat dan mempertahankan keutuhan wilayah darat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta melindungi segenap Bangsa dan tumpah darah Indonesia di wilayah daratan dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara, serta melaksanakan tugas negara dalam penyelenggaraan pendidikan dan latihan wajib militer bala darat bagi warga negara yang diatur dengan undang-undang. Sesuai Doktrin TNI AD “ Kartika Eka Paksi “ salah satu fungsi utama TNI AD adalah Binter, yang diselenggarakan guna menunjang keberhasilan tugas pokok TNI AD, khususnya didalam penerapan sistem pertahanan semesta. Penyiapan dan penyelenggaraan Sistem Pertahanan Semesta memerlukan kerjasama dan koordinasi dengan segenap komponen bangsa, karena pada dasarnya pengelolaan sumber daya wilayah telah terbagi habis oleh fungsi-fungsi pemerintahan dan kemasyarakatan.

Sebagai bangsa yang tidak berada dalam suatu sekutu pertahanan dengan negara lain, kemampuan penangkalan Indonesia menjadi tumpuan dalam mempertahankan diri di tengah dinamika lingkungan strategis. Penangkalan Indonesia dibangun dalam strategi pertahanan berlapis yang memadukan lapis pertahanan militer dan lapis pertahanan nirmiliter sebagai satu kesatuan pertahanan. Lapis pertahanan militer mengandalkan kekuatan senjata yakni Alutsista yang andal dengan prajurit yang terampil dan profesional untuk melaksanakan OMP dan OMSP. Sedangkan lapis pertahanan nirmiliter mengandalkan kemampuan dan usaha pertahanan tidak bersenjata dengan mendayagunakan faktor-faktor ideologi, diplomasi dan politik, ekonomi, psikologi, sosial budaya, dan teknologi.

Penangkalan dibangun untuk mewujudkan kesiapsiagaan segenap kekuatan dan kemampuan yang menampilkan efek penangkalan ke luar dan ke dalam. Efek penangkalan ke luar diarahkan untuk mengembangkan kekuatan dan kemampuan pertahanan yang disegani minimal di tingkat regional, yakni di kawasan Asia Tenggara dan kawasan yang mengitari Indonesia. Penangkalan yang berefek ke dalam adalah membangun kemampuan pertahanan untuk menghasilkan daya penangkal bagi setiap potensi ancaman yang bersumber dari dalam negeri sekaligus memberikan efek ganda dalam mendorong percepatan pembangunan nasional mencapai tingkat kemajuan yang cukup tinggi.

Dalam perjalanan sejarah merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda, terlihat dengan jelas bahwa semangat kerakyatan, semangat kesemestaan dan semangat kewilayahan timbul secara spontan terlihat pada saat menghadapi agresi militer Belanda II yang terkoordinir dibawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Perlawanan dilancarkan berdasarkan strategi dan taktik yang tertuang dalam Perintah Siasat Nomor I. Seluruh potensi yang ada ikut serta menghadapi Belanda, sesuai kemampuan dan profesi masing-masing yang kemudian kita sebut dengan perang rakyat semesta. Pada waktu itu, Angkatan Perang Indonesia disusun dalam Batalyon Mobil dan Batalyon Teritorial. Batalyon Mobil untuk melaksanakan penghambatan gerakan musuh dan menjadi tenaga penggempur dalam susunan Batalyon, Kompi dan Peleton. Sedangkan Batalyon Teritorial mengadakan penjagaan Kabupaten demi Kabupaten, menyebar menjadi inti gerakan gerilya rakyat dibagian daerah yang lebih kecil seperti Distrik dan Onderan atau Kecamatan. Organisasi Kewilayahan ketika itu adalah Komando Militer Daerah (KMD), Komando Distrik Militer (KDM), Komando Onder Distrik Militer (KODM) dan Kader Desa. Gelar inilah yang menjadi cikal bakal Komando Teritorial (Koter) yang saat ini kita kenal dengan Komando Kewilayahan (Kowil), yang merupakan gelar kekuatan TNI AD, dan diyakini sebagai gelar yang memiliki efek tangkal serta sebagai langkah dini dalam penyelenggaraan pertahanan negara, yang disusun secara mendalam.

Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesungguhnya peran Binter sudah mengemuka dan sangat dominan dalam membangun kemanunggalan semua komponen bangsa dengan tentara saat itu menjadi suatu kekuatan yang tidak dapat dipisahkan, bahkan saat perang kemerdekaan mereka bahu membahu mengusir penjajah yang ingin kembali menguasai NKRI. Namun dalam perjalanannya peranan Binter yang telah membawa bangsa ini tetap kokoh kuat, telah menjadi rancu karena pengaruh kepentingan politik/kekuasaan, sehingga Binter yang seharusnya berperan hanya untuk kepentingan pertahanan negara telah ditumpangi kepentingan politis diluar kepentingan politik negara.

Binter TNI AD kini telah dilakukan reposisi, redefinisi dan reaktualisasi peran dan fungsinya sejalan dengan diberlakukannya UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, sehingga kebijakan-kebijakan dalam pelaksanaan tugas dan kegiatan TNI/TNI AD, dalam penyelenggaraan Binter telah mengacu serta tidak bertentangan dengan materi/substansi Undang-Undang tersebut. Substansi penting yang mewarnai kebijakan penyelenggaraan Binter pasca UU No 34 Tahun 2004 saat ini adalah bahwa TNI AD tidak lagi menempatkan diri sebagai satu-satunya instansi pemerintah yang paling bertanggungjawab dalam pembinaan teritorial. Namun TNI/TNI AD telah mereposisi dirinya sebagai pihak yang membantu tugas pemerintah dan atau institusi lainnya yang memiliki kewenangan sesuai fungsinya. Oleh karenanya dalam Implementasi Binter di lapangan harus selalu dalam format kerjasama dengan instansi terkait.

Meskipun secara tekstual yuridis dalam UU 3/2002 yang mengatur pertahanan negara maupun UU 34/2004 yang mengatur TNI tidak secara eksplisit mencantumkan Pembinaan Teritorial, namun pasal-pasal dalam dua Undang-Undang tersebut secara substansial merupakan kegiatan Binter yang selama ini telah dilaksanakan TNI AD. Dalam hal ini Binter dipahami sebagai manajemen, kemampuan dan atau metoda/cara untuk mendukung tercapainnya tugas Pemberdayaan Wilayah Pertahanan bagi kepentingan kesiapan pertahanan negara di darat.

Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang TNI pasal 7 ayat 2 salah satu bentuk tugas dan Operasi Militer selain perang yang dilaksanakan TNI adalah untuk “ memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta “ sedangkan pada pasal 8 d, menyatakan tugas Angkatan Darat adalah “ melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan di darat “. Dalam rangka terdukungnya tugas tersebut, TNI AD harus melakukan berbagai upaya, pekerjaan dan tindakan agar tugas tersebut dapat dilaksanakan dengan sukses. Upaya, pekerjaan dan tindakan tersebut dilakukan dengan cara yang disebut dengan Pembinaan Teritorial, yang dapat dilaksanakan dalam bentuk kegiatan operasi ataupun pembinaan. Jadi Pembinaan Teritorial adalah kebijakan manajemen atau cara atau metoda yang ditempuh TNI AD dalam mewujudkan tugas Pemberdayaan Wilayah Pertahanan sesuai amanah konstitusi dalam rangka mewujudkan kesiapan pertahanan negara di darat.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa meskipun Pembinaan Teritorial telah mengalami redefinisi, reposisi dan reaktualisasi sesuai dengan paradigma baru TNI pasca bergulirnya era reformasi, namun relevansi Pembinaan Teritorial sebagai salah satu solusi untuk menciptakan daya tangkal Pertahanan Negara masih sangat tinggi. Relevansi tersebut semakin dapat dirasakan manakala kita mengingat kembali berbagai peristiwa yang menunjukkan betapa banyak negara tetangga yang jauh lebih kecil tetapi memandang rendah kekuatan pertahanan Indonesia dan senantiasa memprovokasi konflik dengan melakukan berbagai pelanggaran wilayah maupun klaim sepihak atas wilayah-wilayah terluar NKRI.

Dengan demikian, Pembinaan Teritorial sebagai salah satu Fungsi Utama TNI AD hendaknya tetap dapat dipertahankan demi menjaga tetap tegaknya kedaulatan NKRI terhadap berbagai ancaman baik yang bersifat konvensional maupun non-konvensional, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Tentu saja Pembinaan Teritorial ini harus dilaksanakan secara kompehensif dan di dukung oleh semua pihak karena sasaran akhirnya bukan sekedar terjaganya kepentingan TNI, melainkan terjaganya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar