Assalamu'alaikum Wr. Wb

Blog ini dibuat hanya sekedar untuk pengisi waktu luang, tidak ada yang terlalu serius dan penting dalam blog sederhana ini. Tulisan-tulisan yang ada hanya merupakan coretan tanpa makna yang muncul dari "ketidak seriusan" saya dalam membuat blog ini.

Blog ini hanya sebagai penyalur "uneg-uneg" saya tanpa bermaksud membuat orang berpikir terlalu serius. Lihat dan dengar berita di media massa, betapa banyak orang yang pada akhirnya bunuh diri karena terlalu serius menghadapi permasalahan hidupnya sehingga stress, dan ketika tidak mendapatkan jalan keluar dari masalah, akhirnya memilih jalan pintas untuk "keluar dari kehidupannya".

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

21 Juni 2009

Nabi Tepi

Bagi di facebook
Sebuah catatan untuk introspeksi


(oleh: Hamim Tohari)


Sebagai rangkaian dari dua tulisan terdahulu tentang alutsista dan binter, salah satu hal yang menarik yang juga penting untuk dibahas adalah masalah profesionaliltas prajurit. Rendahnya kualitas dan kuantitas alutsista TNI yang saat ini sedang hangat dibicarakan, bahkan menjadi salah satu topik utama yang dibahas dalam debat capres, merupakan salah satu dampak dari kesalahan pengelolaan manajemen pertahanan Negara yang terjadi dalam kurun waktu cukup lama. Dampak lainnya yang juga tidak bisa dipungkiri adalah semakin menurunnya profesionalitas prajurit TNI dalam pelaksanaan tugas pokoknya.

Profesionalitas atau profesionalisme memang memiliki pengertian yang luas apabila dikaitkan dengan definisi yang dikemukakan oleh Huntington ataupun yang didefinisikan oleh TNI sendiri. Tidak hanya sekedar berkait dengan pengetahuan dan keterampilan prajurit dalam hal-hal teknis dan taktis dasar keprajuritan, tetapi juga berkait dengan jiwa korsa, moralitas dan totalitas pengabdiannya kepada bangsa dan Negara. Namun pada tulisan kali ini, saya akan membahas sebagian kecil dari profesionalitas prajurit, namun sangat esensial, yaitu penguasaan atas ilmu-ilmu dasar keprajuritan.

NaBi TePi, judul dari tulisan ini, adalah sebuah istilah yang sangat populer dan lekat dalam kehidupan prajurit TNI. Namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa dari sekian ratus ribu prajurit, pasti masih banyak yang tidak paham dengan makna istilah itu, bahkan mungkin masih ada juga yang tidak tahu kepanjangan dari istilah itu. Istilah NaBi TePi sangat berkaitan dengan istilah profesionalisme atau profesionalitas keprajuritan, karena berada dalam salah satu kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang prajurit, yaitu menembak senjata ringan (perorangan).

NaBiTePi dan Pegangan Teguh merupakan sebagian yang sangat kecil dari pengetahuan dan keterampilan dasar yang seharusnya dikuasai dan melekat dalam diri seorang prajurit sejak masih berada dalam pendidikan pembentukan. Tanpa harus menghapalkan teorinya, seharusnya seorang prajurit tahu persis dan bisa mempraktekkannya dengan benar apabila ditanya tentang dua hal tersebut. Lalu kenapa hal-hal yang sederhana tersebut penting untuk dibicarakan dan dicermati? Jawabannya sederhana, karena kita sudah banyak melupakannya.

Saya teringat pada saat berdinas si Batalyon Arhanud dan anggota saya terkena giliran jaga kesatrian Makodam. Setiap kali Pangdam memasuki kesatrian Makodam dan menerima Jajar Kehormatan dari petugas Jaga Kesatrian, beliau selalu menyempatkan diri untuk mengecek kemampuan perorangan prajurit. Hal-hal yang ditanyakan adalah hal-hal yang sangat mendasar dan memang sudah seharusnya dikuasai oleh setiap prajurit, dan itu ditanyakan berulang ulang setiap hari, diantaranya adalah NaBiTepi dan Pegangan Teguh. Ironisnya, meskipun hal itu adalah hal-hal mendasar dan ditanyakan berulang-ulang, tetapi setiap kali ditanyakan, setiap kali pula jawaban yang di sampaikan oleh prajurit tidak menunjukkan bahwa si prajurit tersebut menguasai apa yang seharusnya dikuasainya, dan lebih menyedihkan lagi adalah kenyataan bahwa masih ada yang tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut.

Memang banyak alasan yang dikemukakan kenapa prajurit-prajurit yang ditanya tidak bisa menjawab, dan jawaban paling klasik yang muncul adalah karena tegang menghadapi seorang Panglima Kodam. Alasan tegang atau stress mungkin bisa diterima dan logis karena perbedaan dalam jenjang kepangkatan dan hirarki antara seorang prajurit dengan seorang jenderal sangatlah jauh, sehingga bila berhadapan akan timbul ketegangan dan takut salah yang pada akhirnya justru bermuara pada kesalahan itu sendiri. Tetapi kalau kita kembalikan pada apa yang disebut dengan profesionalisme atau profesionalitas maka alasan klasik tersebut tidak seharusnya dipakai sebagai dalih terhadap tidak terkuasainya apa yang memang seharusnya dikuasai oleh prajurit.

Salah satu hal yang menjadi ciri pokok seorang yang professional, apapun profesinya, adalah komitmen yang kuat terhadap profesi itu sendiri. Seorang prajurit yang professional harus punya komitmen yang kuat terhadap bidang kemiliteran yang seharusnya dilakukan dan dikuasai. Penguasaan terhadap pengetahuan dan keterampilan dasar keprajuritan merupakan salah satu realisasi dari komitmen seorang prajurit disamping patriotisme, kejuangan, kerelaan berkorban dan lain-lain yang merupakan karakteristik prajurit.

Apabila kita kembalikan kepada persoalan diatas, maka alasan tegang atau stress yang menjadi penyebab tidak mampunya seorang prajurit menjelaskan dan melakukan pengetahuan dan keterampilan keprajuritan yang paling mendasar yang seharusnya melekat dan tidak terpisahkan dari kehidupan prajurit sehari-hari tidak dapat diterima.

Kembali kepada pengertian aslinya, menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary profesionalisme adalah, “skill or qualities of a profession or its members,” atau terjemahan bebasnya adalah keterampilan atau kualitas dari sebuah profesi (pekerjaan) atau bagian-bagiannya. Akan tetapi, skill atau keterampilan dan kualitas kemampuan saja tidaklah cukup untuk membentuk sosok militer yang profesional. Banyak nilai-nilai khusus yang harus melekat pada pribadi militer yang professional yang tidak dimiliki oleh kelompok-kelompok profesi yang lain.

Untuk melihat hal-hal yang spesifik dari profesi militer, mungkin bisa dipertimbangkan apa yang dikemukakan oleh seorang penulis militer terkenal, Samuel P. Huntington bahwa untuk melihat pola pikir seorang militer bisa dilakukan dengan 3 pendekatan yaitu ability or quality, attributes or characteristics, dan attitudes or substance. Dari pendekatan ini Huntington melihat bahwa seorang militer professional mempunyai kemampuan atau kualitas, karakter dan sifat-sifat dan sikap dasar yang berbeda dari sipil. Meskipun tulisan Huntington ini lebih menyoroti profesionalisme perwira militer, namun ketiga pendekatan tadi tidaklah berlebihan apabila digunakan untuk melihat profesionalisme militer secara umum.

Dalam sebuah buku yang berjudul War, Morality, and the Military Profession, yang merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan terkenal tentang militer, Malham M. Wakin – sang editor, yang juga seorang dosen filsafat di U.S. Air Force Academy - dalam pengantarnya mengatakan bahwa “Military knowledge and competence are not enough; we insist that they be conjoined with courage, loyalty, obedience, subordination of the self to the greater whole, and most importantly, with moral integrity.”

Nilai-nilai moral keprajuritan yang kita kenal dan diajarkan kepada seluruh prajurit TNI sejak pertama kalinya belajar di tahapan pendidikan pembentukan pada setiap tingkatan ternyata bersifat universal seperti loyalitas, ketaatan atas perintah, keberanian, dan mengorbankan kepentingan pribadi untuk kepentingan tugas yang lebih besar dan lain-lain seperti yang dikatakan Wakin diatas. Hal itu berarti bahwa nilai-nilai tersebut berlaku bagi militer di seluruh dunia.

Pada halaman yang sama Wakin melanjutkan bahasannya bahwa ada dua keterkaitan yang erat antara nilai-nilai moral dan militer sebagai sebuah profesi yaitu, pertama bahwa nilai-nilai seperti loyalitas, kepatuhan pada perintah, keberanian, jiwa korsa dan integritas diri adalah sangat krusial dalam pelaksanaan fungsi-fungsi kemiliteran dan tidak hanya sekedar kebanggaan dalam memilikinya. Yang kedua, profesi militer itu sendiri dapat menjadi sesuatu yang sangat mulia karena tujuan moral akhirnya haruslah mencakup hal-hal yang merupakan nilai moral tertinggi dari manusia.

Lalu kenapa permasalahan degradasi profesionalitas keprajuritan seperti yang diuraikan diatas bisa terjadi pada prajurit-prajurit kita, atau bahkan kita semua dari segala jenjang kepangkatan? Banyak penyebab yang mungkin berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap terciptanya kondisi seperti sekarang ini. Dari sekian banyak penyebab bisa dijadikan alasan, ada tiga hal yang mungkin paling dominan dan secara langsung mempengaruhi terciptanya kondisi seperti sekarang.

Pertama, latar belakang motivasi prajurit. Diakui atau tidak, seleksi calon prajurit TNI-AD untuk semua jenjang kepangkatan belum bisa berjalan sesuai aturan dan norma yang telah ditetapkan, sehingga banyak terjadi penyimpangan. Hal ini menyebabkan tidak tersaringnya prajurit-prajurit yang benar-benar memiliki integritas moral dan kesiapan psikologis yang memadai. Akibat nyata yang terlihat pada prajurit-prajurit sekarang adalah terjadinya distorsi kepentingan atau motivasi untuk menjadi prajurit. Secara jujur dan obyektif, kita harus berani mengatakan dan mengakui bahwa sebagian besar prajurit yang lahir pada kurun waktu akhir-akhir ini lebih banyak mengedepankan orientasi materi dan kebanggaan semu sebagai pendorong mereka untuk menjadi prajurit. Hal ini bisa terjadi karena rahasia umum mengatakan bahwa ada materi tertentu yang harus dikeluarkan atau harga tertentu yang harus dibayar oleh calon prajurit untuk bisa lolos menjadi seorang prajurit sesuai status yang akan disandang, sehingga terjadi kecenderungan kuat pada prajurit untuk mencari kembalian modal setelah mereka menjadi prajurit, dan ini mengalahkan nilai-nilai keprajuritan yang seharusnya mereka emban.

Berkaitan dengan permasalahan seleksi dan motivasi prajurit ini, sangatlah tepat kiranya bila Pangdam III/Slw pada saat itu mengatakan bahwa belum ada parameter dalam seleksi yang bisa menjamin kemurnian niat prajurit. Akibat yang bisa dilihat dan dirasakan dengan jelas dari para prajurit sekarang adalah, keinginan mengejar materi lebih sering mengalahkan kemauan mereka untuk belajar dan berlatih ilmu-ilmu dan keterampilan keperajuritan. Kebanggaan prajurit untuk tampil gagah atau tampil jagoan di depan umum tidak disertai dengan terisinya pribadi-pribadi tersebut dengan ilmu-ilmu militer yang memang sepantasnya dibanggakan. Yang lebih sering terjadi justru sebaliknya, prajurit lebih bangga mengenakan segala macam embel-embel bila berada di depan umum padahal yang bersangkutan tidak mempunyai kualifikasi sedikitpun yang berkaitan dengan embel-embel yang dipasangnya.

Kedua, situasi penugasan yang lebih banyak ketidak sesuaiannya dengan tugas pokok menyebabkan semakin tidak terpeliharanya kemampuan dasar keprajuritan yang berhubungan dengan tugas pokok yang seharusnya diemban oleh prajurit. Walaupun sebenarnya TNI sudah diberikan tugas pokok oleh negara, termasuk jabarannya kepada satuan-satuan yang lebih kecil sesuai kecabangan, namun kenyataan yang terjadi justru lebih sering terabaikannya tugas pokok akibat terlalu banyaknya tugas lain yang harus dilaksanakan oleh TNI. Letjen TNI (Pur) Hasnan Habib pernah menulis dalam sebuah artikel yang dimuat majalah Yudhagama tentang menuju TNI-AD yang profesional dan modern. Menurut Hasnan Habib, permasalahan yang mendasar yang harus dipecahkan untuk membentuk suatu TNI yang profesional adalah apakah tentara itu sendiri ingin dijadikan sebagai perangkat pertahanan saja ataukah ada peran lain yang harus dimainkan oleh tentara.

Apa yang dikatakan oleh Hasnan Habib tersebut lebih bersifat politis karena mengarah kepada hubungan antara TNI dengan negara, pemerintah dan masyarakat yang notabene bertanggung jawab dan berwenang untuk menentukan peran apa yang harus dimainkan oleh tentara. Hal senada juga sering dikatakan oleh pengamat militer senior Indonesia, Salim Said, bahwa jangan bertanya kepada TNI tentang peran apa yang harus dimainkannya, tetapi tanyalah kepada pemerintah atau rakyat tentang peran apa yang harus dimainkan oleh TNI.

Merujuk kepada pendapat dua orang tersebut diatas, seharusnya tugas pokok yang harus diemban oleh prajurit-prajurit TNI ditetapkan dengan jelas dan semua pihak konsisten serta punya komitmen terhadap pelaksanaannya. Lembaga legislatif sendiri telah memberikan batasan yang jelas tentang peran yang harus dimainkan oleh TNI melalui Tap MPR no VII tahun 2000. Apabila semua pihak konsisten dan punya komitmen terhadap peran ini, konsentrasi prajurit terhadap pelaksanaan tugas pokoknya tidak akan banyak terpecah sehingga kemauan untuk belajar dan berlatih guna mendukung pelaksanaan tugas pokoknya bisa dijaga. Kenyataan sekarang justru terlihat bahwa tugas pokok tentara sudah sedemikian jauh terabaikan akibat banyaknya tuntutan penugasan yang lain. Hal ini lebih jelas terlihat pada prajurit-prajurit yang berdinas di satuan-satuan non tempur.

Ketiga, ketidak pedulian para unsur pimpinan juga bisa menjadi salah satu sebab menurunnya tingkat profesionalitas prajurit sekarang. Lebih banyak unsur pimpinan dari semua tingkatan yang lebih mementingkan karir dan kehidupan pribadinya daripada memikirkan kehidupan kemiliteran di tengah-tengah anggotanya. Face to face leadership atau kepemimpinan lapangan yang lebih mengutamakan kebersamaan semakin memudar. Egoisme dan individualisme diantara para prajurit dan antara prajurit dengan pemimpinnya semakin menyolok. Hal inilah yang bisa menyebabkan kurangnya komunikasi antara prajurit dengan pemimpinnya yang pada akhirnya beruah kepada ketidak tahuan unsur pimpinan terhadap tingkat profesionalitas anggotanya.

Kembali kepada persoalan Nabitepi, kita harus mengakui dengan jujur bahwa kenyataan seperti itu memang sedang mewarnai kehidupan keprajuritan tentara kita sebagai sebuah profesi. Lantas kita juga harus mau bertanya kepada diri sendiri serta menjawabnya dengan jujur tentang posisi diri kita masing masing pada saat ini. Apakah kita sudah pantas untuk berkata dan mungkin berbangga bahwa kita ini prajurit yang professional? ataukah kita termasuk dalam kategori prajurit yang sudah melupakan dasar-dasar keprajuritan yang seharusnya menjadi nafas kita? jawaban sejujurnya ada di hati kita masing-masing. Tersenyum dengan banggalah bagi kita yang masih menyisakan kepedulian terhadap profesi kita sebagai militer, dan tersenyum pulalah dengan kecut apabila kita merasa telah jauh dari ciri-ciri prajurit yang profesional.

7 komentar:

To2k Budhi Sugiarto mengatakan...

Dalam konteks maupun tinjauan profesionalitas prajurit saat ini, sy setuju dg pendapat bpk bhw mulai terjadi penurunan dan degradasi terhadap kinerja prajurit secara sadar. Kenapa demikian...? mari kita lihat fakta di lapangan, bahwa usangnya alut sista yg ada krn jarang dioperasionalkan sesuai fungsinya kecuali lembaga pendidikan yg karena memang hrs dioperasionalkan utk latihan dlm mendidik prajurit. Tetapi mari kita lihat di satuan senjata yg hrsnya digunakan utk menembak jarang digunakan karena terkait dg program dan schedule latihan maupun p'siapan operasi sat tsb. Memang benar tapi personil yg hrsnya melaksanakan lat kadang tdk pernah ikut latihan meski terdaftar dlm list, jadi gimana mau prof..? Lain lagi dg tank dan panser yg mgkn jarang dioperasionalkan membuat kita sedih dan bertanya bisakah operasional ketika besok akan digunakan perang..? shg yg terjadi adalah manajemen pemadam kebakaran dan saling menyalahkan antara satu sama dg yg lain. Disisi lain alut sista yg ada saat ini usia rata2 sdh diatas 15 tahun bahkan ada yg lbh, sementara "katanya" tidak ada anggaran di Dephan/TNI tetapi kenapa selalu ada sisa anggaran TNI tiap akhir tahun..? Jadi barangkali ini terjadi interdependensi antara prajurit, alut sista, anggaran, pengelola anggaran dan penentu kebijakan. Secara khusus dlm hal pengadaan alut sista terkadang kita tdk berani menolak bahwa alut sista tsb tdk layak digunakan TNI dan jenisnya variatif serta blm ada standarisasi materiil yg jelas, begitu ada penawaran baru selanjutnya dibeli tapi kemampuan maintenance thd alut sista baru tsb blm dibekalkan, mat baru tsb yg mgkn hebat karena bisa dianggap sophisticated, namun demikian ekses yg timbul bila terjadi kerusakan, kita gak bs perbaiki, spare parts hrs dr LN, harga mahal, waktu lama dsb, shg terjadi ketergantungan dg pihak LN. Parahnya lagi ketika ada masalah embargo terhadap alut sista dimaksud,maka pupus sudah harapan, materiil yg mahal harganya sia2 didiamkan nangkring dg gagahnya tak mampu digerakkan. Ironis memang, maka ketika terjadi musibah terhadap salah satu alut sista yg disalahkan adalah institusi TNI, anggaran TNI dlsb. Utk bisa kembali ke norma dasar maka seperti judul Tajuk bpk tentang "Nabi Tepi" perlu dipedomani lagi oleh setiap prajurit ketika berlatih menembak maupun dalam mengendarai satuannya, scr analog bisa kita asumsikan bahwa utk menghasilkan hasil tembakan (profesionalisme dan kesiapan alut sista) yang baik dan tepat sasaran harus dimulai dari keinginan/ niat individu utk menjadikan TNI lbh maju utk menjadi yg terbaik, didukung oleh alut sista yg sesuai dg kebutuhan dan anggaran TNI bukan atas dasar keinginan perorangan dg tawaran alut sista yg hanya sekedar baru tetapi usia pakai tdk bisa lama krn ekses yg sy sampaikan diatas. demikian sedikit pandangan dan sumbang saran dari saya mdh2an bukan jadi saran yg sumbang, tksh. Best regards 46 from Papua.

DSOEM mengatakan...

Bapak kita dari ujung timur Indonesia ini, sudah selesai jalan2nya di negeri Kangguru, Good luck

To2k Budhi Sugiarto mengatakan...

Bapak DSOEM yth, Terima kasih telah memfollow up komentar saya. Yg perlu diket ini bhw komentar ini dibuat ketika sy membaca ada keinginan dan harapan bessar atas kiprah alumnus yg disebut "DIKREG 46" untuk menyampaikan idea dan gagasan yg ada dalam pemikiran para hasil didik yg sdh bertugas di lapangan. Bagi saya forum alumnus ini sangat bermanfaat dan bernilai positif utk mengembangkan kemampuan menyampaikan pendapat dan pernyataans yg mengarah pada pengembangan kepribadian dan skill insan lulusan dik tertinggi AD, agar diperoleh hasil yg lebih baik dalam setiap pelaksanaan tugas. Secara komperhensif, diskusi inter alumnus ini dpt menghasilkan buah pikir mengenai strategi, teknis, taktis bidang pertahanan negara saat ini dan bisa jadi utk beberapa th kedepan. Saya hanya mencoba menyimak dan menganalisa manfaat dari blog ini sekaligus take a part dlm road to map utk bisa menjadi Pati Ambon yg bermanfaat bagi saya sendiri dan satuan TNI. Saran sy pd rekans yg lain sekecil apapun yg ada dlm pemikiran kita segera tuangkan dlm btk tulisan di blog ini shg membiasakan diri kita utk menulis. Mulailah dari yang kecil2 shg akan diperoleh hasil yg besar ketika terjadi akumulasi dari jutaan yg kecil2. Kepada rekans yg sdh menampilkan buah karyanya sy ikut berterima kasih dan salut krn mau mengawali untuk membuka jalan menuju kesuksesan. Salam 46 buat semua dari ujung cenderawasih.

Dikreg46 mengatakan...

Salut buat Pak Totok.... kalau ada kirim dong tulisannya ke dikreg46@yahoo.com biar saya muat dan bisa ditanggapi temen2....

To2k Budhi Sugiarto mengatakan...

Insya Allah pak, Ketika sy ada spare time utk menuangkan buah pemikiran ke dinding dikreg 46 akan sy coba berbagi sekaligus membiasakan menulis meski gak profesional tetapi yg penting berani ya pak...? alhamdulillah lomba karya tulis TER tgkt kodam sy diberi kesempatan utk naik tangga pertama tingkat Pamen se-Kodam XVII, alhamdulillah..
Salam setia 46, from TBS

Admin mengatakan...

bukan ke dinding dikreg46 pak.... tulisan dimuat disini, kirim pake e-mail ke dikreg46@yahoo.com

To2k Budhi Sugiarto mengatakan...

Siap mr.Admin, hapunten sebelumnya, next akan sy usahakan sending by e-mail, pikir sy tadinya biar bisa direct kesini, hehehe... ternyata I got wrong way, I'm sorry goodbye ya... Thx 4 ur attention... BTW, Who is mr.DSOEM..? Let me know him, sir..

Posting Komentar