Assalamu'alaikum Wr. Wb

Blog ini dibuat hanya sekedar untuk pengisi waktu luang, tidak ada yang terlalu serius dan penting dalam blog sederhana ini. Tulisan-tulisan yang ada hanya merupakan coretan tanpa makna yang muncul dari "ketidak seriusan" saya dalam membuat blog ini.

Blog ini hanya sebagai penyalur "uneg-uneg" saya tanpa bermaksud membuat orang berpikir terlalu serius. Lihat dan dengar berita di media massa, betapa banyak orang yang pada akhirnya bunuh diri karena terlalu serius menghadapi permasalahan hidupnya sehingga stress, dan ketika tidak mendapatkan jalan keluar dari masalah, akhirnya memilih jalan pintas untuk "keluar dari kehidupannya".

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

16 Oktober 2009

PARODI NYELAK

Bagi di facebook

(oleh: Hamim Tohari)

Sambil nungguin anak-anak saya sarapan pagi, hari Minggu kemaren saya buka-buka Koran Kompas Online dan ada sebuah tulisan singkat yang menarik dengan judul Parodi Nyelak. Tulisan ini merupakan sebuah kritik sosial yang menggugat kebiasaan “tidak mau antri” yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Parodi nyelak mengambil sebuah contoh peristiwa yang dialami oleh penulis, Samuel Mulia, di sebuah pesta pernikahan yang membuatnya jengkel karena ketika setiap mengantri untuk melakukan suatu kegiatan selalu di “selak” atau diserobot oleh orang lain tanpa basa-basi dan tanpa ada perasaan bersalah sama sekali. Sebuah kondisi yang saya yakin juga banyak ditemui dan dirasakan dimana-mana. Bagi mereka yang memiliki nurani dan etika sosial yang “beradab”, pasti ini merupakan sebuah kondisi yang memprihatinkan. Namun tidak sedikit pula mereka yang memang menikmati kebiasaan buruk ini serta menemukan kepuasan bathin tersendiri apabila berhasil “nyelak” orang lain untuk mengambil keuntungan. Ironisnya, mereka-mereka yang “beradab” pada akhirnya banyak yang justru menyerah oleh keadaan dan berusaha untuk menikmati kebiasaan “nyelak” ini.

Entah dari daerah mana istilah “nyelak” itu diambil, karena di kampung asal saya istilah itu tidak ada. Tetapi darimanapun diambil, saya rasa istilah itu agak mudah dipahami karena terjadi di hampir setiap lini kehidupan sosial masyarakat kita sampai dengan saat ini. Selak menyelak akan sangat mudah ditemukan di tempat-tempat umum, di jalan, di ATM, di halte, di depan lift, di loket bioskop, stasiun kereta, di toilet dan dimana-mana. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat lagi-lagi sering dijadikan sebagai kambing hitam yang disalahkan atas terciptanya kondisi sosial ini. Namun kenyataannya, kebiasaan “nyelak” ini tidak hanya dimiliki orang-orang yang “kurang berpendidikan”, tetapi juga banyak dilakukan orang yang berpendidikan tinggi, yang seharusnya secara moral etika sudah matang.

Waktu mudik lebaran kemaren…. saya juga beberapa kali dibikin jengkel sama orang-orang yang hobi nyelak di jalan raya, udah tau antrean panjang dan orang-orang sudah ngantre dengan tertib…eeee…. tiba-tiba orang-orang kaya dan berpendidikan tinggi (karena mobilnya bagus-bagus…) pada “nyelaksak enak udele dewe…..akhirnya kemacetan parah tidak dapat terhindarkan. Padahal kalau semua orang mau ngantre dengan tertib, hal itu akan bisa dihindari. Tetapi itulah realitas yang masih kita hadapi sehari-hari.

Saya mencoba untuk tidak menyebut “selak-menyelak” ini sebagai sebuah budaya (kultur) karena setahu saya budaya itu mengandung nilai-nilai luhur. Kita orang Indonesia yang menjadi bagian dari budaya timur dikenal memiliki nilai-nilai yang luhur (paling tidak menurut pelajaran PMP waktu saya sekolah dulu….), dan seingat saya dalam budaya ketimuran sangat dianjurkan untuk saling menghormati-menghargai dan sejenisnya……serta tidak pernah dianjurkan untuk saling menyelak. Mungkin selak-menyelak ini lebih tepat disebut sebagai kebiasaan, sebuah kebiasaan yang akultural, karena tidak sesuai dengan budaya (kultur) yang berlaku. Saya juga lebih suka menyebut berbagai contoh diatas sebagai sebuah selak-menyelak “lahiriyah”, karena gampang sekali dilihat di berbagai ruang dan waktu diatas bagian bumi yang bernama Indonesia ini. Selak-menyelak sudah menjadi dialektika sosial masyarakat Indonesia.

Nampaknya kebiasaan akultural selak-menyelak ini tidak hanya terjadi pada ranah lahiriyah saja, tetapi sudah jauh merambah pada wilayah “ghoibiyah” alias tidak terlihat, sulit dibuktikan, abstrak….. tetapi terasa dimana-mana. Selak menyelak banyak kita rasakan di antrean untuk meraih kedudukan, jabatan, kesempatan maupun kesejahteraan, baik di perusahaan maupun di setiap lini instansi pemerintahan. Sekali lagi…. ini sulit dibuktikan atau dilihat secara kasat mata, tetapi dapat dirasakan dimana-mana. Sifatnya ghoib seperti setan, iblis, hantu, kuntilanak, gendruwo, thothok uwok…. dan sebangsanya. Tuhan dan malaikat, walaupun ghoib, tidak termasuk dalam kelompok ini, karena Tuhan Maha Baik dan melalui malaikat, yang kemudian diteruskan oleh para Rosul, mengajarkan kebaikan kepada umat manusia.

Saya akan mengambil contoh selak-menyelak ghoib ini di lingkungan TNI AD. Kalau mau jujur kepada diri sendiri (mudah-mudahan nggak dicap ekstrim…..) kita sering mendengar betapa teganya seseorang “menyelak” pada saat orang lain secara normatif sedang menunggu giliran untuk menjadi Danyon, Dandim, Danrem dan Dan-Dan lain-lain. Saya sendiripun sudah berkali-kali mengalami sakitnya “diselak” oleh orang lain pada saat harapan-harapan indah sudah berada di depan mata. Sudah menjadi cerita publik juga adanya kelompok “pasukan siluman” yang hobi menyelak jatah teman-temannya untuk masuk pendidikan Seskoad maupun pendidikan dan penugasan luar negeri. Luar biasanya….. mereka-mereka yang memiliki “uncivilized habits” itulah yang justru akhirnya menjadi orang penting. Sementara manusia-manusia beradab yang dengan sabar mengikuti jejak kakinya secara normatif, justru selalu ketinggalan.

Kembali ke Parodi Nyelak, si penulis menawarkan “nilai-nilai” yang mungkin bisa kita ikuti untuk tidak terjebak pada kebiasan selak-menyelak ini yaitu dengan membiasakan diri untuk:

1. Mendisiplinkan diri. Susah memang, tetapi apa boleh buat. Kita semua tahu, berbuat yang baik dan benar itu susahnya setengah mati dan kadang mengesalkan. Tetapi, seperti susahnya menjalani hidup ini, kita toh tetap harus bertahan hidup dan tak langsung gantung diri. Artinya, mau susahnya seperti apa, ada tujuan akhir yang ingin kita capai. Itu membutuhkan kedisiplinan. Kedisiplinan dalam urusan mengantre juga untuk melatih agar kita tak terlalu egois dan berakhir dengan membahagiakan orang lain.

2. Memiliki tenggang rasa, bukan tegang rasa. Tenggang itu berarti memiliki rasa toleran. Rasa ini tak boleh hanya berlaku saat kita melihat orang kesusahan, tetapi juga saat mau membuat manusia lain berbahagia. Kita ingin anak dan pasangan bahagia, tak mungkin kalau kita tak punya tenggang rasa.

Kalau kita tak bisa memilikinya, anak dan pasangan kita pasti minggat. Mungkin buat mereka yang sedang ditinggalkan seseorang, bisa berpikir salah satu sebabnya adalah tidak adanya tenggang rasa, tetapi malah memupuk tegang rasa.

3. Tidak berpikir pendek. Pendek itu lawannya panjang. Kalau berpikir pendek tak selalu jelek, tetapi umumnya pendek dalam berpikir lebih diasosiasikan dengan tidak berpikir panjang. ”Yaa… iyalah, pendek itu tidak panjang, goblok,” nurani saya berteriak seperti biasa. Nah, kalau berpikirnya pendek, kita hanya bisa berpikir untuk diri sendiri dan tidak mendalam. Kalau panjang, kita memikirkan orang lain juga dan berpikir akibat dari apa yang hendak kita perbuat. Berpikir untuk orang lain dan akibatnya, itu adalah pikiran yang dalam.

4. Bertanya seperti ini—tentu kepada diri sendiri—”Enak enggak yaa… kalau diselak? Sakit hati enggak, ya?” Untuk memulai memahami orang lain, kita harus memahami diri kita sendiri. Sama persis kalau kita menjual jasa, kita tak bisa melayani dengan hati senang pelanggan atau pembeli kalau kita sendiri tak senang dengan pekerjaan kita, tak senang dengan lingkungan di mana kita bekerja.

Makanya kalau kita dijutekin sama penjual jasa, coba pikir mungkin salah satu sebabnya adalah karena ia tidak bahagia. Saya membaca artikel yang ditempelkan teman saya di dinding ruang kerjanya, bunyinya: Stop thinking like a banker, start thinking like a customer.

Bagaimanapun, kita masih harus banyak, dan perlu waktu yang lama untuk, belajar mengikis kebiasaan selak-menyelak ini dari kehidupan kita. Selak-menyelak baik yang ”lahiriyah” maupun ”ghoibiyah” seakan-akan sudah menjadi tumor ganas dalam tubuh kehidupan sosial kita. Bila tidak dikikis sampai ke akar-akarnya, bahkan ke sel-selnya yang paling kecil, akan terus tumbuh menggerogoti tubuh sehat kita, hingga akhirnya lumpuh dan mati.

Banyak orang yang menikmati kebiasaan selak-menyelak ini, karena merasa diuntungkan, tanpa berpikir bahwa itu merugikan orang lain. Sayangnya kita sulit menemukan kebiasaan selak menyelak ini di panti asuhan, rumah jompo maupun kantor pajak. Seandainya ada, alangkah indahnya hidup ini....

Wallahu’alam bis shawab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar