Assalamu'alaikum Wr. Wb

Blog ini dibuat hanya sekedar untuk pengisi waktu luang, tidak ada yang terlalu serius dan penting dalam blog sederhana ini. Tulisan-tulisan yang ada hanya merupakan coretan tanpa makna yang muncul dari "ketidak seriusan" saya dalam membuat blog ini.

Blog ini hanya sebagai penyalur "uneg-uneg" saya tanpa bermaksud membuat orang berpikir terlalu serius. Lihat dan dengar berita di media massa, betapa banyak orang yang pada akhirnya bunuh diri karena terlalu serius menghadapi permasalahan hidupnya sehingga stress, dan ketika tidak mendapatkan jalan keluar dari masalah, akhirnya memilih jalan pintas untuk "keluar dari kehidupannya".

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

10 Oktober 2009

NARSISME dalam KEPEMIMPINAN

Bagi di facebook

(oleh: Hamim Tohari)

Narsis, sebuah istilah yang mulai sering saya dengar kira-kira 1,5 tahun yang lalu karena saya agak kurang gaul, sehingga telat mengenal istilah-istilah seperti itu, walaupun sebenarnya bukan istilah baru. Sering temen-temen bilang “tuh orang narsis banget” ketika melihat gambar atau foto seseorang yang “di cakep-cakepin” atau “digagah-gagahin” atau semacam itulah kira-kira……Kemudian akhirnya saya memiliki pemahaman bahwa istilah narsis itu digunakan untuk memberikan sebutan kepada seseorang yang suka menonjolkan dirinya lewat penggambaran yang seolah-olah menjadi orang “yang paling…..”.

Ternyata pemahaman saya tersebut tidak sepenuhnya benar, walaupun juga tidak salah. Setelah saya buka kamus, ternyata istilah narsis yang sering saya denger itu berasal dari kata narcissism yang berarti suka membanggakan diri sendiri. Memang secara nyata sifat narsis tidak hanya sebatas pada “tampilan foto/gambar yang di cakep-cakepin…..” saja, tetapi jauh lebih luas dari itu dan menyentuh pada aspek psikologis manusia. Namun orang yang suka berfoto dengan pose yang dibuat-buat biar kelihatan seolah-olah paling keren seperti yang dipasang di profile facebook juga termasuk salah satu bentuk perilaku narsis.

Setelah saya baca-baca berbagai artikel, ternyata istilah narsis (narcissism) diambil dari sebuah mitologi yunani dimana seorang kesatria yang bernama Narcissus (ναρκισσος - NARKISSOS) dan parasnya elok bukan main suka memuja dirinya sendiri dan banyak menolak cinta secara kejam dari para wanita yang mencintainya. Sampai suatu saat dia menolak cinta Echo, yang menyebabkan Echo patah hati, dan Narcissus dikutuk sehingga jatuh cinta pada bayangannya sendiri di air kolam .Tanpa sengaja ia menjulurkan tangannya, sehingga ia tenggelam dan tumbuh bunga yang sampai sekarang disebut bunga narcissus yang saya sendiri juga ndak tahu bentuknya.

Istilah "Narsisme" (dengan mengambil kisah Narcissus) pertama kali digunakan dalam psikologi oleh psikiater Austria Sigmund Freud pada tahun 1890-an untuk menggambarkan sifat manusia yang sangat senang mengagumi/melebih-lebihkan dirinya sendiri. Narsisme adalah salah satu bentuk kesombongan manusia dan beberapa pakar psikoanalis mengkategorikan sifat ini sebagai sebuah penyimpangan psikologis pada manusia.

Berbagai karakteristik kepribadian telah dikaitkan dengan narsis. Sebagai contoh, narsis sering didefinisikan sebagai sibuk dengan mimpi-mimpi kesuksesan, kekuasaan, keindahan, dan kecemerlangan serta mencari perhatian dan kekaguman dari orang lain. Berkaitan dengan hal itu, ancaman terhadap harga diri orang yang narsis sering diikuti dengan perasaan marah, tertantang, malu, dan terhina. Seorang narsis juga cenderung lebih memikirkan hak yang harus mereka terima tanpa memikirkan tanggung jawab yang harus dipikul. Menurut American Psychiatric Association, orang yang narsis rentan terhadap kemarahan, rasa malu, rendah diri, dan penghinaan saat mereka dikritik oleh orang lain.

Orang yang memiliki sifat narsis senang melakukan glorifikasi diri yang biasanya diikuti oleh proses psikologis sebaliknya yakni demonisasi (penyetanan orang lain). Contoh perilaku ini paling gampang ditemukan pada saat menjelang pemilu legislatif dimana semua calon berlomba-lomba memasang gambar dirinya dengan berbagai slogan di setiap tempat. Mereka berlomba-lomba untuk mengatakan bahwa dirinyalah yang paling baik, paling pantas dipilih…. Artinya, caleg yang memuliakan dirinya secara berlebihan telah "menyetankan" caleg lainnya. Mereka melakukan itu dengan menghabiskan biaya yang tidak sedikit, dan kemudian ketika akhirnya tidak terpilih, yang muncul adalah kekecewaan, kemarahan, ke-malu-an dan perasaan terhina, yang ujung-ujungnya terjadi stress atau depresi sehingga menuh-menuhin RSJ.

Sebagai sebuah penyimpangan perilaku psikologis, sifat narsis ini juga perlu diwaspadai oleh mereka-mereka yang menjadi atau bercita-cita menjadi pemimpin, karena perilaku seperti ini akan sangat mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi. Makanya temen2 yang merupakan calon-calon pimpinan TNI masa depan jangan suka narsis di facebook.

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh para pakar psikologi, disimpulkan bahwa individu-individu yang memiliki kepribadian narsistik akan membawa dampak yang mendalam atas jalannya sebuah organisasi. Sebagai contoh, para manajer dan supervisor narsistik mungkin memiliki masalah dalam berinteraksi dengan rekan kerja, serta berkomunikasi dengan tingkat yang lebih rendah dan unsur pelaksana. Perilaku seperti itu dapat menyebabkan kurangnya efektifnya proses dalam sebuah organisasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Senada dengan hal tersebut, seorang pemimpin yang mempromosikan visi yang berlebihan dan tidak realistis dapat menyebabkan anggota organisasi kesulitan untuk memahami dan merealisasikannya. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan sebuah organisasi tidak hanya lambat dalam mencapai tujuan tertentu, tetapi mungkin dapat membawa kerugian yang lainnya.

Disamping itu, karena kesombongan yang dimiliki, perasaan untuk selalu mendapatkan pelayanan khusus, kurangnya kepedulian terhadap orang lain, serta keinginannya untuk tetap menjadi pusat perhatian, seorang pemimpin yang narsis akan merasa sulit untuk bekerja secara efektif dalam tim (Lubit, 2002). Akhirnya, pemimpin yang narsis tidak hanya melakukan pekerjaan yang buruk pada mengembangkan orang, tetapi mereka “mengasingkan” bawahan sebagai akibat dari devaluasi mereka terhadap orang lain, memaksakan cara mereka sendiri, kurang empati, dan ingin selalu mengeksploitasi orang lain.

Beberapa pakar psikologis telah mencoba mengkaitkan perilaku narsis ini dengan gaya kepemimpinan yang kharismatik. Ternyata keduanya memiliki keterkaitan, walaupun tidak sepenuhnya sama. Menurut teori kepemimpinan, pemimpin yang kharismatik akan lebih mudah menciptakan ikatan emosional dengan anakbuahnya. Anak buah akan mudah terinspirasi secara antusias untuk memberikan ketaatan, kesetiaan, komitmen, dan pengabdian kepada pemimpin dan menyerahkan semua keputusan kepada sang pemimpin karena dianggap segala yang ada pada diri pemimpin sudah mampu mewakili. Menurut Conger dan Kanungo (1994) pemimpin karismatik berbeda dari pemimpin lain karena kemampuan mereka untuk merumuskan dan mengartikulasikan sebuah visi dan inspirasi perilaku dan tindakan yang menumbuhkan kesan bahwa mereka memiliki misi yang luar biasa.

Nadler dan Tushman (1990) juga melihat seorang pemimpin yang kharismatik sebagai seseorang dengan visi (yaitu, mengartikulasikan sebuah visi, menetapkan harapan yang tinggi, dan pemodelan perilaku konsisten), sebuah energizer (yaitu, menunjukkan kegembiraan pribadi, mengungkapkan keyakinan pribadi , dan mencari, menemukan, dan meraih sukses), dan akhirnya, pendukung (yaitu, mengekspresikan dukungan pribadi, berempati, dan mengekspresikan kepercayaan orang). Dalam situasi krisis, sebuah gaya kepemimpinan karismatik dapat meningkatkan respons organisasi untuk kembali ke keadaan operasi normal. Namun, di sisi lain, sebuah gaya kepemimpinan karismatik juga dapat membuahkan bencana bagi karyawan dan organisasi yang tertimpa masalah (Conger & Kanungo, 1998).

Dalam kaitannya dengan perilaku narsis, para pemimpin karismatik dapat rentan terhadap narsisme ekstrem, yang dapat membawa mereka untuk memposisikan diri secara berlebihan. "perilaku pemimpin dapat menjadi berlebihan, kehilangan hubungan dengan realitas, atau menjadi kendaraan untuk keuntungan pribadi murni" (Conger & Kanungo, hal 211). Lebih jauh lagi, narsisme dapat menyebabkan pemimpin karismatik melebih-lebihkan kemampuan mereka dan meremehkan peran serta keterampilan orang lain. Akhirnya, para pemimpin narsistik, yang memiliki perasaan sebagai orang yang paling penting, ditambah dengan kebutuhan untuk menjadi pusat perhatian, akan sering mengabaikan sudut pandang orang lain dalam organisasi, serta pengembangan kemampuan kepemimpinan bagi pengikutnya. Perilaku seperti itu tidak hanya membahayakan diri pemimpin itu sendiri, tetapi juga anakbuah, karyawan perusahaan, serta organisasi yang dipimpinnya.

Sebagai kesimpulan, saya menyarankan kepada rekan-rekan saya, para calon pimpinan TNI masa depan. Belajarlah mulai dari sekarang untuk tidak berperilaku narsis. Penghargaan, rasa hormat, respek, loyalitas dan sejenisnya tidak harus didapatkan dari orang lain dengan cara-cara yang narsis, cara-cara yang melebih-melebihkan diri sendiri seolah-olah kita ini adalah orang “yang paling…..”. Mari kita raih semua itu dengan karya nyata, tidak dengan kepura-puraan. Mari kita kikis secara perlahan-lahan kultur yang terlalu mendewa-dewakan “tampilan luar” sehingga seringkali melupakan inner quality yang lebih substansial untuk diperhitungkan. Janganlah kita bawa arah organisasi ini sesuai dengan keinginan kita (atau suka-suka kita) yang memimpin, tetapi mari kita bawa ke arah yang seharusnya, sesuai dengan norma-norma kehidupan organisasi yang benar karena TNI bukanlah punya kita yang kebetulan memimpin. TNI adalah punya rakyat dan rakyatlah yang sebenarnya memiliki hak untuk menentukan arah jalannya organisasi TNI. Kita hanya mengemudikan ke arah dikehendaki oleh rakyat sambil membenahi semua perangkat yang sudah mulai rusak dan ketinggalan jaman.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar