Assalamu'alaikum Wr. Wb

Blog ini dibuat hanya sekedar untuk pengisi waktu luang, tidak ada yang terlalu serius dan penting dalam blog sederhana ini. Tulisan-tulisan yang ada hanya merupakan coretan tanpa makna yang muncul dari "ketidak seriusan" saya dalam membuat blog ini.

Blog ini hanya sebagai penyalur "uneg-uneg" saya tanpa bermaksud membuat orang berpikir terlalu serius. Lihat dan dengar berita di media massa, betapa banyak orang yang pada akhirnya bunuh diri karena terlalu serius menghadapi permasalahan hidupnya sehingga stress, dan ketika tidak mendapatkan jalan keluar dari masalah, akhirnya memilih jalan pintas untuk "keluar dari kehidupannya".

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

04 Oktober 2009

SERVANT LEADER

Bagi di facebook

(sebuah renungan di Hari TNI ke-64)

(oleh: Hamim Tohari)


Dalam sebuah kesempatan, saya pernah mendengar Komandan saya menyampaikan bahwa "the ultimate wisdom" dari seorang pemimpin adalah ketika dia mampu memposisikan dirinya sebagai pelayan bagi organisasi atau anakbuahnya, sebuah prinsip yang luar biasa dan pasti sangat sulit untuk mewujudkannya. Dalam sebuah organisasi sosial mungkin karakter kepemimpinan melayani ini dapat berjalan dengan baik untuk menghasilkan dan mengaplikasikan nilai-nilai moral sosial yang baik pula. Tetapi untuk model organisasi yang memiliki pattern hirarkhis yang “kaku” hal ini mungkin sulit untuk diimplementasikan, karena seringkali terjadi proses pengambilan keputusan dan perintah yang cepat dan tepat untuk mengatasi suatu masalah. Dalam hal ini yang lebih menonjol adalah “perintah untuk diikuti”, yang seringkali tidak disenangi oleh orang lain, sehingga sifat “pelayanan” diabaikan.

Dalam sebuah buku berjudul Leadership (Robert P. Vecchio) yang merupakan kumpulan tulisan tentang kepemimpinan, beberapa diantaranya membahas tentang konsep servant leadership ini. Teman kuliah (sekaligus teman FB) saya, Rohmat Haryadi, juga pernah menulis sebuah buku yang berjudul Servant Leader (sayang saya belum dapat copy nya untuk dibaca….)

Konsep servant leadership ini diluncurkan oleh Robert K. Greenleaf pada tahun 1970 dalam sebuah esai, "Servants as leader," di mana ia menciptakan istilah "servant-leader" dan "servant leadership." Greenleaf kemudian menulis sejumlah esai tambahan tentang berbagai aspek kepemimpinan pelayan. Sejak kematiannya pada tahun 1990, konsep ini banyaik dikembangkan oleh penulis lain seperti James Autry, Ken Blanchard, Jim Hunter, Ken Jennings, Kent Keith, George SanFacon, dan Larry Spears.

Untuk menjadi pemimpin-pelayan, seseorang harus memiliki untuk kualitas untuk mendengarkan, komitmen untuk pertumbuhan, visi jauh ke depan, membangun komunitas dll.

Konsep Servant Leader ini sebenarnya sudah ada sejak jaman dahulu kala. Pada abad ke-4 SM Chanakya menulis dalam bukunya Arthashastra bahwa:

"Raja [pemimpin] akan dianggap baik, bukan dari apa yang menyenangkan dirinya sendiri, tetapi apa yang menyenangkan rakyatnya [pengikutnya]" "raja [pemimpin] adalah pelayan yang dibayar dan menikmati sumber daya negara bersama-sama dengan orang lain."

Ada sebuah ungkapan China yang berhubungan dengan servant leadership dalam Tao Te Ching, yang ditujukan kepada Lao-Tzu, yang diyakini tinggal di Cina kira-kira antara 570 SM dan 490 B.C.:

"Jenis tertinggi penguasa adalah seseorang yang keberadaannya ditengah pengikutnya hampir tidak disadari. Kemudian datang seseorang yang mereka cinta dan puji. Kemudian datang seseorang yang mereka takuti. Kemudian datang seseorang yang mereka benci dan ditentang. Bila Anda tidak memiliki kepercayaan, orang lain tidak akan percaya kepada Anda. Pemimpin yang bijaksana adalah orang yang merendahkan diri dan tidak banyak bicara. Ketika tugasnya selesai dan sesuatu telah selesai, Semua orang mengatakan, 'Kami sendiri telah mencapai hal itu! "

Kembali kepada konsep modern dari Servant Leadership yang dikemukakan oleh Greenleaf. Dalam esainya Greenleaf menggambarkan pelayan-pemimpin sebagai:

"The servant-leader is servant first… It begins with the natural feeling that one wants to serve, to serve first. Then conscious choice brings one to aspire to lead. That person is sharply different from one who is leader first, perhaps because of the need to assuage an unusual power drive or to acquire material possessions…The leader-first and the servant-first are two extreme types. Between them there are shadings and blends that are part of the infinite variety of human nature.

The difference manifests itself in the care taken by the servant-first to make sure that other people’s highest priority needs are being served. The best test, and difficult to administer, is: Do those served grow as persons? Do they, while being served, become healthier, wiser, freer, more autonomous, more likely themselves to become servants? And, what is the effect on the least privileged in society? Will they benefit or at least not be further deprived?"

Sepuluh karakteristik servant leader (Greenleaf, RK, 2003):

1. Mendengarkan. Pemimpin memiliki komitmen yang mendalam untuk mendengarkan dengan penuh perhatian kepada orang lain.
2. Empati. Berusaha untuk memahami dan berempati dengan orang lain.
3. Menyelesaikan masalah. Belajar untuk menyelesaikan masalah adalah sebuah kekuatan yang besar untuk transformasi dan integrasi. Salah satu kekuatan besar dari servant leadership adalah potensi untuk menyelesaikan masalah diri sendiri dan orang lain.
4. Kesadaran. Kesadaran umum dan terutama kesadaran diri, memperkuat pelayan-pemimpin.
5. Persuasif. Seorang servant-leader lebih mengutamakan tindakan-tindakan persuasif, daripada menggunakan otoritas posisional seseorang.
6. Konseptual. Servant-leader berusaha untuk memupuk kemampuan mereka untuk 'mimpi mimpi yang besar'. Kemampuan untuk melihat masalah (atau organisasi) dari perspektif konseptual berarti bahwa kita harus berpikir di luar realitas keseharian.
7. Visi ke depan. Kemampuan untuk memahami pelajaran dari masa lalu, realitas masa kini, dan kemungkinan konsekuensi dari keputusan untuk masa depan.
8. Stewardship. Komitmen atas kepercayaan yang lain.
9. Komitmen terhadap perkembangan individu. Servant-leader sangat berkomitmen untuk pekembangan masing-masing individu di dalam institusi nya.
10. Membangun kebersamaan di antara mereka yang bekerja dalam suatu organsiasi.

James Sipe dan Don Frick, dalam buku The Seven Pillars of Servant Leadership, menyatakan bahwa servant leader memiliki karakter individu untuk melayani orang sebagai yang utama, komunikator yang terampil dan penuh kasih, kolaborator, memiliki visi jauh ke depan, dan lain-lain.

Berbeda dengan pendekatan kepemimpinan top-down gaya hierarkis, kepemimpinan pelayan menekankan kolaborasi, kepercayaan, empati, dan etika penggunaan kekuasaan. Dengan kesadarannya membuat keputusan untuk memimpin dengan tujuan untuk lebih melayani orang lain, bukan untuk meningkatkan kekuatan mereka sendiri.


Dari berbagai argumen diatas, dapat diambil sebuah garis besar kesimpulan bahwa seorang pemimpin yang bertipe servant leader memiliki karakter:

* Mengabdikan diri untuk melayani kebutuhan organisasi dan anakbuahnya.
* Fokus pada pemenuhan kebutuhan orang-orang yang dipimpinnya.
* Mengembangkan anakbuah untuk memberikan yang terbaik bagi organisasi.
* Melatih dan mendorong ekspresi diri anakbuah.
* Memfasilitasi pertumbuhan pribadi dalam semua orang yang bekerja dalam organisasi.
* Mendengarkan dan membangun rasa kebersamaan.

Luar biasa seandainya model kepemimpinan melayani ini dapat diterapkan di setiap bentuk organisasi, termasuk organisasi militer. Pada awal tulisan ini, penerapan konsep servant-leadership pada organisasi militer yang memiliki pattern hirarkhis yang ”kaku” mungkin agak sulit. Tapi ”wisdom dasar” yang ada di dalamnya sebenarnya sangat relevan untuk diterapkan dalam setiap jenis organisasi, yaitu ”komitmen tanpa pamrih untuk memajukan organisasi dan anakbuah”

Secara realitas, implementasi model kepemimpinan ”servant leadership” ini rasanya masih akan sangat sulit bagi kehidupan kepemimpinan TNI pada saat ini. TNI yang lahir dan bertumbuh kembang di dalam masyarakat Indonesia masih banyak dipengaruhi oleh sosio kultural masyarakat yang berkait erat dengan kehidupan monarkis dimana seorang pemimpin lebih banyak tercipta untuk ”dilayani” dan ”dikasih upeti”. Masih banyak berkembang persepsi ortodoks bahwa pemimpin itu memiliki hak untuk ”serba dilayani” melebihi tanggung jawabnya untuk melayani. Gambaran para raja yang duduk ”methengkrang” dikelilingi dayang-dayang dan para ”kawulo” seolah-olah merupakan sebuah hak bagi pemimpin walaupun hidup di jaman modern.

Tetapi kita tidak boleh pesimistis atas keadaan ini, usia kita ”baru” 64 tahun pada hari ini, dan perjalanan kita masih sangat panjang. Reformasi internal untuk membawa TNI menjadi organisasi yang lebih modern dan profesional baru berjalan 1 dasawarsa dan sedang memasuki gerbang dasawarsa kedua. Semua masih dalam proses dan proses itu akan terus dilaksanakan sampai cita-cita dan harapan seluruh bangsa Indonesia tercapai.

Komitmen generasi muda TNI untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih positif sangat diperlukan. Jangan kita takut kehilangan ”hak untuk dilayani” seperti yang didapatkan para senior kita. Mari kita pikul ”tanggung jawab untuk melayani” untuk mendapatkan ultimate value sebagai seorang pemimpin sejati demi membawa TNI ke arah yang lebih baik.

DIRGAHAYU TNI KE 64, SEMOGA TETAP JAYA





Tidak ada komentar:

Posting Komentar