Assalamu'alaikum Wr. Wb

Blog ini dibuat hanya sekedar untuk pengisi waktu luang, tidak ada yang terlalu serius dan penting dalam blog sederhana ini. Tulisan-tulisan yang ada hanya merupakan coretan tanpa makna yang muncul dari "ketidak seriusan" saya dalam membuat blog ini.

Blog ini hanya sebagai penyalur "uneg-uneg" saya tanpa bermaksud membuat orang berpikir terlalu serius. Lihat dan dengar berita di media massa, betapa banyak orang yang pada akhirnya bunuh diri karena terlalu serius menghadapi permasalahan hidupnya sehingga stress, dan ketika tidak mendapatkan jalan keluar dari masalah, akhirnya memilih jalan pintas untuk "keluar dari kehidupannya".

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

25 November 2009

SITU PATENGGANG

Bagi di facebook

(oleh Hamim Tohari)
 
Alhamdulillah, dalam weekend kemaren akhirnya saya sempat mengajak istri dan anak-anak saya refreshing, setelah menjalani masa-masa sibuk selama beberapa minggu sebelumnya. Tempat yang akhirnya menjadi pilihan untuk melepaskan penat adalah kawasan wisata Ciwidey, yang salah satu obyeknya adalah Situ Patenggang.

Menurut makna historisnya, nama Situ Patenggang berasal dari bahasa sunda yaitu situ yang berarti danau atau telaga, sedangkan patenggang berasal dari kata pateang-teang (saling mencari) yang akhirnya bermetamorfosa menjadi pateangan (tempat pencarian) dan kemudian menjadi patengan atau patenggang. Entah mana yang benar, yang jelas nama tempat wisata tersebut sekarang terkenal dengan Situ Patenggang yang berada di desa Patengan

Menurut legenda yang juga tertulis pada papan batu di pintu masuk, tempat tersebut pada jaman dahulu kala (entah kapan) merupakan tempat bertemunya Raden Indrajaya (Putra Prabu) dan Putri Rengganis (Titisan Dewi) setelah sekian lama berpisah dan saling mencari, sehingga kemudian disebut dengan Situ Patenggang (patengan, pateangan-teangan) dan ditandai dengan adanya sebuah batu di tengah-tengah danau yang disebut dengan Batu Cinta.  

Wallahu ‘alam bis shawab.


Terlepas dari makna historis atau legenda yang melatar belakangi (yang bisa dikarang oleh siapa saja), tempat tersebut bagi saya dan keluarga juga memiliki makna psikologis yang relatif sama yaitu tempat pencarian (pateangan) nuansa alami atau istilah kerennya back to nature , karena disana, kita yang hidup sehari-hari di lingkungan perkotaan dengan urban lifestyle dapat menemukan kembali lingkungan dan suasana alam seperti yang saya rasakan pada waktu kecil dulu. Kita yang sehari-hari menghirup udara perkotaan yang penuh polusi serta dipusingkan oleh kemacetan, panas dan lain-lain, dapat sejenak merasakan kesegaran alam untuk memulihkan kesegaran pikiran dan menghilangkan kepenatan.


Di dalam suasana hujan yang tidak kunjung berhenti, saya bermalam di sebuah pemondokan kecil yang menyerupai rumah panggung dengan dinding terbuat dari anyaman bambu. Sebuah nuansa pegunungan yang sebenarnya sangat menyenangkan apabila tidak diiringi oleh hujan yang turun sepanjang malam dan siang hari. Namun di tengah cuaca tersebut, udara menjadi sangat dingin hingga rasanya menyentuh sampai ke sumsum tulang, walaupun badan sudah terbungkus dengan jaket yang cukup tebal. Pemondokan kecil yang saya tempati untuk bermalam juga tidak memiliki penerangan yang cukup, sehingga jalan masuk dan suasana sekeliling pondok jadi gelap gulita. Di dalam ruangan juga tidak tersedia TV, kulkas atau pemanas air seperti yang layaknya tersedia di kamar-kamar hotel. Hanya sebuah kasur yang tergelar di lantai, untuk tidur manakala sudah ngantuk.


Malam itu keluarga saya serta beberapa keluarga rekan saya tidak dapat kemana-mana karena hujan yang tak kunjung berhenti. Akhirnya kami hanya menghabiskan waktu malam hari untuk menikmati dingin yang menusuk tulang dengan kongkow-kongkow di kolong rumah panggung sambil minum kopi dan masak mie instant dikelilingi oleh kegelapan malam di sekitar, hingga tiba waktunya ngantuk. Tidurpun juga tidak bisa nyenyak akibat dingin yang sulit di hilangkan walaupun sudah menggunakan selimut tebal.


Bagi mereka yang sudah terlalu nyaman dengan kehidupan di lingkungan kota yang serba gemerlap dan serba tersedia, kondisi tersebut rasanya sulit untuk diadaptasi, karena sense of nature mereka sudah semakin menguap tergantikan oleh urban lifestyle yang menuntut berbagai kegemerlapan dan kemudahan instant. Sulit rasanya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang serba terbatas dan serba tidak nyaman di tengah-tengah lingkungan alami seperti itu. Kehidupan alam perkotaan seolah-olah telah menurunkan ”survivabilitas” manusia di tengah-tengah kondisi ”alam liar” yang serba tidak menentu.


Memang bukan merupakan sesuatu yang bisa dihindari bahwa manusia cenderung berprinsip ”kalau masih bisa mudah, kenapa harus cari yang susah?” Kalau masih bisa mencari kenyamanan dan kesenangan di lingkungan perkotaan, kenapa harus menyengsarakan diri di tengah hutan yang serba tidak nyaman....?. Sebuah prinsip hidup yang sangat manusiawi dan tidak bisa disalahkan oleh siapapun.


Namun alangkah baiknya apabila kita juga menyadari bahwa salah satu persoalan terbesar yang dihadapi oleh manusia di muka bumi sekarang ini adalah permasalahan alam, yaitu global warming. Memang banyak sekali teori tentang global warming dan penyebabnya serta tidak semua manusia memiliki pendapat yang sama. Ada kelompok-kelompok atau pendapat tertentu yang mengatakan bahwa global warming adalah fenomena alam yang sudah menjadi keharusan dari siklus alam semesta tanpa ada kaitannya dengan tingkah laku manusia. Namun mayoritas teori berkeyakinan bahwa fenomena global warming lebih banyak diakibatkan oleh tingkah laku manusia yang merusak alam di muka bumi ini.


Kehidupan manusia yang semakin modern telah membawa pola pikir dan perilakunya untuk lebih ”urban”. Generasi demi generasi semakin dimanjakan dengan kemudahan-kemudahan akibat penggunaan teknologi yang berkembang secara cepat di lingkungan perkotaan. Sense of nature atau sensitivitas manusia terhadap ekosistem lingkungan semakin berkurang, bahkan manusia terkesan menjadi semakin jauh dan semakin asing dengan lingkungan alam di pegunungan atau pedesaan. Segala yang berbau pedesaan atau pegunungan dianggap kuno, ketinggalan jaman, nggak trendy, nggak gaul dan lain-lain.


Selain berkurangnya sense of nature dari manusia-manusia urban, saya juga melihat bahwa ”survivabilitas” dari generasi yang dilahirkan dan dimanja di tengah-tengah lingkungan perkotaan juga rendah. Banyak anak-anak yang tidak bisa beradaptasi dengan kegelapan, cuaca dingin, makan seadanya, tidur di rumah panggung dan lain-lain. Artinya adalah bahwa banyak generasi muda yang menjadi tidak siap menghadapi kerasnya kehidupan yang serba ”unpredictable”.


Saya sendiri sebenarnya sempat kuatir terhadap kondisi anak-anak saya, karena ketika mau berangkat, anak saya yang kecil agak demam. Tapi Alhamdulillah, anak saya justru terlihat menikmati suasana alam di pemondokan, walaupun tidur kedinginan di tengah-tengah kegelapan. Bahkan keesokan harinya anak saya yang agak demam sebelum berangkat, justru menjadi sehat dan ceria walaupun sempat kehujanan ketika berjalan-jalan dan naik perahu di Situ Patenggang. Dalam hati saya merasa kagum kepada anak-anak saya yang masih kecil dan berdoa mudah-mudahan mereka berdua dapat menjadi manusia-manusia yang kuat. Manusia-manusia yang memiliki ”survavibilitas” handal untuk menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan. Dan yang juga penting adalah, mudah-mudahan sense of nature mereka akan tetap terjaga hingga dewasa, sehingga mampu berbuat untuk mengurangi kerusakan alam akibat urban lifestyle yang rakus memporak-porandakan ekosistem lingkungan.


Ini adalah sekedar pengalaman weekend di Situ Patenggang. Apapun makna historis dan latar belakang legendanya, bagi saya dan keluarga lingkungan alam seperti yang terdapat di daerah wisata Ciwidey tetap merupakan sebuah patenggang atau pateangan (tempat pencarian) suasana alam untuk melatih survivabilitas dan sense of nature, setelah sekian lama hidup di tengah-tengah hiruk pikuknya alam perkotaan yang semakin sumpek.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar