Assalamu'alaikum Wr. Wb

Blog ini dibuat hanya sekedar untuk pengisi waktu luang, tidak ada yang terlalu serius dan penting dalam blog sederhana ini. Tulisan-tulisan yang ada hanya merupakan coretan tanpa makna yang muncul dari "ketidak seriusan" saya dalam membuat blog ini.

Blog ini hanya sebagai penyalur "uneg-uneg" saya tanpa bermaksud membuat orang berpikir terlalu serius. Lihat dan dengar berita di media massa, betapa banyak orang yang pada akhirnya bunuh diri karena terlalu serius menghadapi permasalahan hidupnya sehingga stress, dan ketika tidak mendapatkan jalan keluar dari masalah, akhirnya memilih jalan pintas untuk "keluar dari kehidupannya".

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

23 Maret 2009

DEMOKRASI PREMATUR

Bagi di facebook

(Oleh: Hamim Tohari)

Masa kampanye terbuka dalam rangkaian kegiatan Pemilu Legislatif 2009 telah berjalan satu minggu. Kampanye terbuka ini seharusnya sudah dimulai lebih awal dari jadwal yang diikuti sekarang, namun KPU mengundurkan jadwal kampanye dengan beberapa alasan. Pada saat KPU mengumumkan bahwa jadwal kampanye diundur, beberapa pimpinan partai politik membuat pernyataan bahwa pengunduran jadwal tersebut berpotensi memunculkan konflik.

Ketika masa kampanye terbuka dimulai, beberapa ketegangan terjadi di berbagai daerah. Di Jakarta misalnya, perwakilan salah satu partai politik justru “berantem” dengan temannya sendiri gara-gara berebut untuk mewakili partainya dalam deklarasi kampanye damai. Di Purwakarta, beberapa pimpinan partai politik menolak untuk menandatangani deklarasi kampanye damai, artinya mereka cenderung “siap untuk konflik”. Di beberapa daerah lainnya, terjadi ketegangan dan kericuhan, bahkan perkelahian, antar anggota dalam sebuah partai politik, antar anggota partai politik yang berbeda maupun antara partai politik dengan KPU.


Dalam kurun waktu seminggu masa kampanye terbuka, kita melihat berita-berita di TV yang menunjukkan bahwa intensitas pelanggaran terhadap Undang-Undang Pemilu sangat tinggi. Pelibatan anak-anak dalam kampanye dilakukan oleh hampir seluruh Partai Politik peserta pemilu. Di beberapa daerah, terdapat pejabat-pejabat negara yang memanfaatkan fasilitas negara dan kegiatan dinas untuk kepentingan kampanye. Yang lebih menyedihkan lagi, beberapa partai besar yang seharusnya mempelopori kedewasaan dan kematangan berpolitik, justru memperlihatkan perilaku yang memprihatinkan. Kampanye yang dilakukan oleh partai-partai besar tersebut sebagian besar diisi hiburan dengan penampilan yang “seronok” dan ditonton oleh anak-anak dibawah umur serta seolah-olah tidak perduli bahwa peserta kampanye tersebut adalah ibu-ibu yang berjilbab atau bapak-bapak yang berkopyah.

Sesuai jadwal pemilu legislatif akan dilaksanakan dalam hitungan hari, namun masih ada persoalan yang belum terselesaikan yaitu adanya permasalahan DPT fiktif di Jawa Timur. Penyelesaian masalah DPT fiktif ini terkesan berlarut-larut dan bahkan menyebabkan seorang pejabat tinggi Polri mundur dari jabatannya. Persoalan DPT fiktif inilah yang akhirnya juga memunculkan pendapat-pendapat bahwa Pemilu harus diundur dari jadwal yang telah ditetapkan. Persoalan ini menunjukkan betapa tidak profesionalnya perangkat-perangkat Pemilu yang sudah dibentuk sekian lama, serta mengindikasikan terjadinya permainan “jorok” para pelaku politik dalam arena politik yang memang kotor.

Keprihatinan lainnya yang patut menjadi perhatian adalah sinyalemen peredaran uang palsu yang digunakan para caleg untuk membeli suara konstituen. Naudzubillahi min dzalik…!!!. Segala macam cara kotor telah ditempuh oleh para politisi yang memiliki kepentingan dalam Pemilu Legislatif 2009 ini.

MENYEDIHKAN…!!!!

Itulah gambaran carut-marutnya proses demokrasi yang terjadi di negara kita.

Saya akan mencoba untuk menganalisanya secara pragmatis saja karena rasanya sulit membuat analisa teoretis terhadap situasi politik di Negara kita saat ini. Terlalu banyak politisi yang mengusung segudang teori politik dewa-dewa pada saat berbicara di media massa, dan sebanyak itu pula yang kemudian melupakannya ketika sudah memasuki ranah politik praktis dengan berbagai kepentingan individunya. Ibarat orang yang mengejar orgasme, banyak cara atau teori yang digunakan. Namun ketika kepuasan itu sudah didapatkan, kelelahan yang luar biasa menghinggapi dan kemudian tertidur lelap, melupakan segalanya. Itulah perilaku-perilaku politik narsis seperti yang pernah saya bahas dalam tulisan sebelumnya.

Proses demokrasi yang terjadi di tanah air kita sampai dengan saat ini juga dapat dikatakan sebagai demokrasi prematur karena pelaku politik para elit maupun masyarakat pada umumnya belum cukup matang.

Memang sangat disadari bahwa rakyat kita baru “belajar” berdemokrasi dengan “benar” sejak Pemilu 1999 atau pasca reformasi. Jadi dapat dibilang bahwa rakyat kita masih dalam taraf pendidikan dasar politik. Berarti bahwa masih perlu proses yang panjang untuk mencapai kematangan politik sampai dengan taraf pendidikan tinggi. Makna demokrasi itu sendiri baru dipahami sebagai sebuah sistem politik yang mengedepankan kebebasan individu dalam sebuah masyarakat dan dan negara, tetapi nilai-nilai moralitas di dalamnya tidak banyak diambil untuk penciptaan sebuah masyarakat demokratis yang madani.

Masyarakat politis yang menurut filsuf Yunani Aristoteles, dalam tulisannya Politics, ada karena kesamaan tujuan untuk menciptakan kebaikan, ternyata masih jauh dari harapan. Nilai-nilai kebebasan (freedom) yang oleh Cicero disanjung sebagai karakter pokok dari demokrasi telah disalah artikan dan sering berujung pada anarkhisme serta diskursus sosial seperti yang digambarkan oleh Machiavelli pada tulisannya The Discourses.

Sebagai sebuah penyakit, ejakulasi prematur biasanya diatasi dengan menggunakan terapi fisik maupun psikis serta tidak jarang pula menggunakan resep obat baik dari dokter maupun obat-obat kuat yang banyak dijual di pasaran. Demikian pula halnya dengan demokrasi prematur, tentu saja butuh terapi serta resep obat yang tepat untuk mengatasinya.

Terapi penyembuhan atau formulasi obat yang dapat dipertimbangkan untuk mengatasi demokrasi prematur ini antara lain:

Pembenahan moralitas politik para elit. Warna perpolitikan kita sangat didominasi oleh perilaku politik para elit. Elit politik yang secara formal pada umumnya telah memiliki latar belakang pendidikan cukup tinggi hendaknya paham betul tentang moralitas politik dan tanggung jawabnya terhadap rakyat. John Locke dalam bukunya The Second Treatise of Government mengatakan bahwa kekuasaan rakyat yang diwakili oleh anggota legislatif tidak dapat diberikan tuntutan lebih dari penciptaan kebaikan bersama, tetapi memiliki kewajiban untuk menjaga hak milik setiap orang dalam masyarakat tersebut. Inilah yang mestinya tetap dipegang oleh para elit politik ketika “menjual diri” untuk “dibeli” para rakyat yang diwakilinya.

Apabila memang sistem politik demokratis yang diinginkan masyarakat Indonesia adalah demokrasi ala Amerika yang sering disanjung-sanjung oleh para politisi, seharusnya mereka memahami apa yang di tulis oleh Tocqueville dalam bukunya Democracy in America, bahwa di AS sendiri mayoritas orang hebat jarang yang mau duduk dalam jabatan publik, karena tanggung jawab moral yang berat.

Perilaku-perilaku “masturbatif” para elit politik dalam minggu-minggu awal masa Kampanye Pemilu Legislatif 2009 seperti yang diuraikan di awal pembahasan ini mestinya tidak boleh terjadi apabila kita ingin membawa masyarakat dan bangsa Indonesia ke alam kehidupan politik yang lebih baik. Lalu siapa yang bisa membenahi moralitas politik para elit tersebut? Ini adalah pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Kalau kita katakan bahwa lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab pembenahan, kelihatannya sulit untuk merealisasikannya. Kita lihat betapa banyaknya elit politik yang memiliki deretan gelar di belakang namanya, tetapi tetap saja tidak memperlihatkan moralitas yang baik. Artinya adalah, tingkat pendidikan formal seseorang tidak punya korelasi langsung dengan moralitas pribadinya.

Lalu bagaimana dengan pendidikan keagamaan? Inipun sulit dicari korelasinya. Tidak sedikit juga politisi dari partai politik dengan azas keagamaan yang memiliki moralitas rendah. Walaupun nilai-nilai spiritualitas yang diajarkan dalam agama apapun selalu menekankan nilai-nilai kebaikan dan melarang yang sebaliknya, tetapi ketika seseorang telah masuk ke wilayah politik praktis, nilai-nilai tersebut sering dilupakan. Yang justru sering terjadi adalah politisasi agama atau agamisasi politik.

Apakah pembenahan moralitas ini merupakan tugas pemerintah? Secara yuridis formal mungkin benar, tetapi perlu diingat juga bahwa pemerintahan pun diisi oleh para politisi yang seringkali lebih mengedepankan kepentingan partai politiknya daripada kepentingan rakyat. Yang lebih menyulitkan adalah kenyataan bahwa partai-partai politik beserta politisinya yang tidak tergabung dalam koalisi ruling party selalu menempatkan diri sebagai oposisi yang cenderung terus menerus menentang kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Dengan demikian, yang paling mampu membenahi moralitas para elit politik adalah diri mereka masing-masing.

Intensifikasi pendidikan politik rakyat. Dalam kehidupan politik, rakyat adalah obyek yang diolah para elit politik sebagai subyek. Rendahnya tingkat pendidikan sebagian rakyat Indonesia tentu saja sangat mempengaruhi pemahaman mereka terhadap politik. Rendahnya tingkat pemahaman rakyat terhadap politik inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para elit untuk kepentingan mereka.

Sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih rendah tingkat pendidikan dan kehidupannya cenderung tidak peduli pada hiruk-pikuk pertarungan visi dan misi para elit di tingkat atas. Kita dapat melihat hasil survey atau wawancara yang dilakukan oleh media massa kepada warga masyarakat terkait dengan pemilu legislatif 2009 ini. Sebagian besar rakyat tidak tahu jumlah dan nama-nama partai politik yang ada, tidak kenal para caleg yang mencalonkan diri serta tidak paham caranya memilih pada pemilu legislatif. Sebagian besar rakyat pun tidak mengerti untuk apa mereka memilih orang-orang yang gambarnya terpampang di atas kertas suara.

Kebodohan-kebodohan inilah yang kemudian dibeli oleh para elit politik dengan berbagai cara untuk mencapai tujuannya.

Pendidikan politik bagi rakyat sangat diperlukan agar tidak terjebak ke dalam kebodohan-kebodohan yang akhirnya dimanfaatkan oleh para elit politik. Rakyat harus diberikan pemahaman yang memadai tentang sistem perpolitikan yang baik serta tata cara berpartisipasi dalam politik yang benar.

Memang pendidikan politik rakyat ini tidak dengan sendirinya akan mampu merubah perilaku politik yang telah ada. Ada hal-hal lain yang berkait erat dengan perilaku politik masyarakat. Mustahil rasanya mengharapkan kepedulian dan partisipasi politik masyarakat secara benar pada saat mereka masih berkutat dengan permasalahan ekonomi dan kesejahteraan.

Penegakan aturan main dalam Pemilu. Pelanggaran-pelanggaran aturan main dalam proses Pemilu 2009 seperti yang diuraikan diatas sangat erat kaitannya dengan lemahnya penegakan aturan main yang telah dituangkan dalam Undang-Undang tentang Pemilu. Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) seolah-olah hanya memainkan perannya untuk “mengawasi / melihat” saja. Padahal Panwaslu berhak memberikan tindakan dan sanksi hukum kepada pelanggar-pelanggar aturan main tersebut.

Pembiaran terhadap suatu pelanggaran di awal masa kampanye, akhirnya diikuti oleh pelanggaran-pelanggaran yang lainnya di waktu-waktu selanjutnya. Seandainya sejak awal Panwaslu berani mengambil tindakan tegas terhadap pelanggaran yang terjadi, besar kemungkinan pelanggaran-pelanggaran berikutnya dapat dieliminir. Disinilah pentingnya penegakan aturan main tersebut dalam menciptakan iklim politik yang lebih baik.

Ketiga formulasi tersebut merupakan bagian dari resep untuk menyembuhkan penyakit demokrasi prematur yang diderita oleh bangsa Indonesia saat ini. Kondisi bangsa Indonesia yang hidup di tengah-tengah carut marut ini juga telah membawa fenomena baru yaitu lebih dipercayanya pengobatan-pengobatan alternative daripada pengobatan dokter. Formulasi yang ditawarkan diatas hanya merupakan sebagian kecil resep yang mungkin dapat dicoba. Masih banyak alternatif pengobatan lain yang mungkin dapat dimanfaatkan oleh Bangsa Indonesia untuk mencapai kesembuhan dari penyakit demokrasi prematur ini.

WALLAHU'ALAM BISSHAWAB


3 komentar:

Blog Watcher mengatakan...

DPT MENGGELEMBUNG = PEMILU BY DESIGN

Kalau kita merenung agak sejenak, dalam waktu yang senggang, akan tergambar dalam layar ingatan kita, betapa jelas dan terang lukis kejanggalan penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Sebut saja Ali, Dia tetangga terdekatku. Rumah kita bersebelahan berbatas tembok setinggi 2 1/2 meter. Kami tinggal disebuah kota kecil. Ali, nama yang cukup terkenal di kampungku. Warga masyarakat mengenal Ali sebagai simpatisan partai politik. Ali sangat getol meneriakkan suara partainya. Dimanapun ia berada selalu berjalan gagah menjadi magnet pembicaraan orang.

Begitu pula dalam penyusunan DPT. Ali bak magnet bagi pembuatnya. PPK menyebut 2 kali nama Ali. Ali masuk di DPT TPS 1 dan Ali DPT TPS 2.

Dengan demikian tanpa harus melalui jalan yang berliku-liku, karena DPT ganda Ali bebas melampiaskan pilihannya. Dengan 10 jari Ali bisa mencontreng di 2 TPS berbeda.

Inilah salah satu contoh kecurangan. KaLau sudah begini, akankah kita diam seribu basa seakan-akan tidak terjadi sesuatu??!!

Pemilu Indonesia by design.

sumber:http://asyiknyaduniakita.blogspot.com/

Hamim mengatakan...

"Pemilu by Design"? apanya yang salah dari kalimat itu? Saya rasa tidak ada yang aneh, karena di belahan bumi manapun, yang namanya pemilu pasti di disain, dirancang atau direncanakan dengan matang. Mustahil pesta demokrasi yang melibatkan 150 Juta-an pemilih tiba-tiba berjalan begitu saja tanpa perencanaan atau disain yang matang. So what gitu loh....

Pada intinya, berbagai penyimpangan yang terjadi dalam Pemillu kita sampai dengan saat ini bermuara pada masih rendahnya kematangan politik bangsa secara keseluruhan.

Untuk membentuk kematangan politik diperlukan sebuah "wisdom". Setiap penyimpangan harus disikapi dengan wise atau bijak, tidak perlu emosional dan mencari kambing hitam untuk disalahkan. Sikap emosional yang ditunjukkan oleh para tokoh publik dan terliput di media, tidak akan mendidik rakyat untuk menjadi bijak. Justru paradoks dengan tujuan dan nilai-nilai yang terdapat dalam demokrasi itu sendiri.

Memang tidak mudah mematangkan moralitas politik bangsa yang begitu besar dan heterogen. Negara-negara besar yang sudah maju dan berusia sudah tua pun perlu proses yang panjang untuk memiliki kematangan politik. Tetapi proses itu bukan juga merupakan sesuatu yang teramat sulit, karena negara-negara kecil yang masih muda ternyata banyak yang mampu mengelola sistem politiknya dengan baik.

Kesimpulannya, kedewasaan dan kebijakan moral bangsa secara keseluruhan akan sangat menentukan kematangan politik di negara ini.

Peace..!!

wahyu hidayat s mengatakan...

aku baru nyoba mim

Posting Komentar