Assalamu'alaikum Wr. Wb

Blog ini dibuat hanya sekedar untuk pengisi waktu luang, tidak ada yang terlalu serius dan penting dalam blog sederhana ini. Tulisan-tulisan yang ada hanya merupakan coretan tanpa makna yang muncul dari "ketidak seriusan" saya dalam membuat blog ini.

Blog ini hanya sebagai penyalur "uneg-uneg" saya tanpa bermaksud membuat orang berpikir terlalu serius. Lihat dan dengar berita di media massa, betapa banyak orang yang pada akhirnya bunuh diri karena terlalu serius menghadapi permasalahan hidupnya sehingga stress, dan ketika tidak mendapatkan jalan keluar dari masalah, akhirnya memilih jalan pintas untuk "keluar dari kehidupannya".

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

27 Oktober 2009

BALE SEGOLO-GOLO (post power syndrome)

Bagi di facebook

(oleh: Hamim Tohari)

Dalam kisah pewayangan terdapat cerita yang sangat terkenal yaitu Bale Segolo-golo. Kisah ini merekam intrik politik di negeri Astina pasca-meninggalnya Prabu Pandu Dewonoto. Mayoritas rakyat Astina, menghendaki para ksatria Pandowo melanjutkan pemerintahan Astina. Maka Adipati Drestoroto sebagai care taker pemerintahan memerintahkan Patih Sengkuni untuk merayakan pergantian pemerintahan di padang Bale Segolo-golo.

Tapi Joko Pitono, ksatria Kurowo anak Adipati Drestoroto, tidak legowo memberikan kekuasaan ke para satria Pandowo. Ia pun berkoalisi dengan Patih Sengkuni menyusun siasat jahat untuk menggagalkan dan merebut tahta dari Pandowo. Satu-satunya cara, Bimo dan saudara–saudaranya harus dibunuh. Kemudian cerita berkembang dan berkat kepiawaian sang dalang, penonton jadi tersihir dan terpaku di tempat duduknya masing-masing sambil minum kopi, makan gethuk goreng, kemplang, plenggong dan lain-lain hingga subuh.

Rasanya cerita intrik seperti ini masih sering dan terus menerus kita lihat dan dengar di kehidupan yang sudah semakin modern, dimana wayang sudah tidak lagi menjadi hiburan yang menarik, dikalahkan oleh bioskop, DVD, facebook dll. Tetapi para budayawan luhur yang hidup ratusan tahun yang lalu telah memiliki pemikiran-pemikiran yang universal dan long lasting, sehingga nilai-nilai dari warisan budaya yang diciptakan masih juga relevan walaupun di jaman yang sama sekali berbeda. Bale Segolo-golo adalah sebuah contoh kisah ke-tidak legowo-an manusia yang melihat keberhasilan orang lain, karena menganggap bahwa dirinya lah yang sebenarnya lebih berhak.

Memang sih, pada jaman yang sudah modern ini kisah intrik Bale Segolo-golo tidak banyak lagi yang berujung pada perang fisik dan saling membunuh secara fisik. Yang lebih sering terjadi adalah perang non fisik dan saling membunuh karakter melalui pernyataan-pernyataan di media. Namun apapun ujungnya, intrik seperti yang terjadi pada cerita Bale Segolo-golo ini masih sangat sering terjadi pada setiap persaingan atau “kejuaraan” dalam berbagai bentuk.

Dalam sebuah kejuaraan atau persaingan selalu ada pihak yang menang, dan sebaliknya selalu harus ada yang kalah. Itu sudah kodrat. Masalahnya apakah yang menang bisa menyikapi kemenangannya dengan bijak dan yang kalah bisa menerima kekalahannya dengan lapang dada (bukan besar dada…)?. Itu hal yang masih sulit dilakukan. Bagi yang menang, tidak pernah ada masalah, bagaimanapun cara untuk mencapai kemenangannya, yang penting sudah menang, sudah juara, tinggal mempertahankan dan mempertanggung jawabkan predikat juaranya. Tetapi bagi yang kalah, tersedia seribu alasan untuk “melindungi” kekalahannya. Yang paling sering dan gampang terjadi adalah menyalahkan sistem pertandingan atau wasit, alasan-alasan klasik. Ketika kemudian alasan-alasan itu sudah memenuhi isi kepala, maka yang muncul adalah “ke-tidak legowo-an” itu tadi. Tidak bisa menerima kekalahannya, dan menganggap bahwa lawan tidak seharusnya menjadi juara karena dianggap tidak lebih baik dan menempuh cara-cara yang tidak sehat. Pada akhirnya sang kalah enggan atau malu untuk mengucapkan selamat kepada sang menang. Bahkan ketika diundang pada acara penganugerahan gelar juara juga tidak datang dengan alasan bahwa dalam aturan pertandingan seorang yang kalah tidak diwajibkan untuk datang, demikian juga para mantan juara tidak diwajibkan untuk hadir pada ceremonial penyematan gelar bagi sang juara baru. Alasan yang sebenarnya sih…….logis, tapi kok aneh aja.

Secara yuridis formal memang tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk menghadiri sebuah undangan, tetapi secara moral etika, disana terdapat kewajiban untuk menghargai pihak yang mengundang. Artinya adalah, apabila tidak terdapat suatu halangan yang sangat berat, menghadiri sebuah undangan adalah suatu kehormatan, kehormatan bagi yang mengundang, sekaligus kehormatan bagi diri pribadi orang yang diundang. Kalaupun tidak bisa datang karena alasan yang sangat krusial, misalnya sakit atau sedang tidak ada ditempat, maka seyogyanya menyampaikan alasan tersebut kepada pihak pengundang sebelum acara dimulai. Tetapi kalau tidak menghadiri sebuah undangan dengan berlindung dibalik alasan-alasan yuridis, kok malah lucu. Disinilah kemudian muncul kesan ke-tidak legowo-an seseorang.

Dalam ilmu psikologi dikenal suatu penyakit yang berkaitan dengan sikap tidak legowo ini, yaitu Post Power Syndrome. Post power syndrome adalah gejala yang terjadi dimana ‘penderita’ hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (entah jabatannya atau karirnya, kepemimpinannya atau hal yang lain), dan seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini. Pada fase-fase tertentu di dalam kehidupan kita, kita bisa mengalami krisis-krisis semacam ini. Fase-fase dimana seseorang merasa tidak legowo atas kemenangan atau keberhasilan orang lain dan merebut gelar yang pernah dipegangnya.

Sifat tidak legowo, atau Post Power Syndrome ini sebenarnya juga merupakan sifat iblis yang muncul ketika Sang Maha Pencipta menciptakan sebuah makhluk yang bernama manusia. Sebelum penciptaan manusia, Iblis sebenarnya memiliki derajat yang paling tinggi diantara ciptaan Nya, bahkan melebihi malaikat. Namun kemudian dia tidak terima kalau posisinya yang superior tiba-tiba digantikan oleh makhluk yang dianggapnya lemah, bodoh, tidak menguasai bidangnya, bahkan unsurnya tidak sehebat unsur si Iblis.

Iblis merasa dirinya lebih baik dari Adam. Iblis merasa dirinya lebih ahli dari Adam. Iblis merasa dirinya lebih berhak dari Adam untuk semua wewenang dan kekuasaan yang diberikan Tuhan. Iblis merasa diperlakukan tidak adil oleh Tuhan. Mengapa seorang Adam yang dianggap ‘nobody’ tiba-tiba diangkat dan diberi hak dan wewenang sebesar itu.

Jiwa iblis berontak dan tidak terima atas ‘anugerah’ Tuhan kepada Adam. Buat iblis, apa yang Tuhan berikan kepada Adam bukan anugerah, tetapi ‘malapetaka’. Ya, malapetaka, karena libido kekuasaan iblis telah membangkitkan api cemburunya kepada Adam.

Maka reaksinya berbeda dengan para malaikat. Kalau malaikat dengan ketaatannya diperintahkan oleh Tuhan kemudian mereka bertasbih dan mau disuruh sujud kepada Adam, Iblis bereaksi sebaliknya. Baginya, sujud kepada Adam adalah hal yang harus dihindari. Tidak tidak mau mengakui wewenang yang Tuhan berika kepada Adam. Tidak mau sujud dan tidak mau mengakui bahwa Adam diberikan kekuasaan sebesar itu.

Jauh di lubuk hati Iblis ada perasaan luka, derita, sakit, perih dan kecewa. Ya, kecewa kepada keputusan Tuhan yang dianggapnya tidak adil. Kecewa karena ‘prestasi’ dirinya dianggap tidak ada dan sia-sia. Buktinya, Tuhan malah menunjuk Adam sebagai pemimpin alam semesta. Bukan dirinya. Padahal dirinya selama ini sudah sangat taat, tunduk dan telah mencurahkan semua perhatian kepada Tuhan.

Itulah Iblis, makhluk Tuhan yang dikutuk karena tidak mau menerima kenyataan bahwa dirinya sudah bukan makhluk yang berkuasa lagi. Iblis mengalami post power syndrome yang akut, di mana dia akan selalu menggangu dengan segala upaya, trik, siasat, celah dan metode.

Pelajaran yang dapat diambil dari cerita ini antara lain, jangan sekali-kali kita merasa diri kita akan berkuasa selamanya. Sebab Tuhan sangat mungkin mengganti kekuasaan di tangan kita dengan orang lain.

Ketika kekuasaan itu diberikan kepada orang lain, jangan ada perasaan tersisih, tergeser, minder atau dipermalukan. Sebaliknya, serahkan semua kepada Tuhan saja. Sebab kekuasaan, jabatan, kekayaan, wewenang dan lainnya, datang dari Tuhan. Hak Tuhan untuk mencabut semuanya dan kita jangan sakit hati, baik kepada Tuhan atau pun kepada orang yang menggantikan diri kita.

Jelas semua ini ujian, Iblis telah jatuh terperosok di dalamnya. Jangan sampai kita pun ikut terperosok di lubang yang sama dengan Iblis.

Kalau memang sudah tidak berkuasa, bersikaplah legowo. Berikan wewenang itu kepada orang baru yang ditunjuk. Belum tentu orang itu akan sukses dalam tugas dan amanahnya. Jangan jadi seperti Iblis yang malah tidak berhenti menggangu Adam dan keturunannya.

Inilah pelajaran penting yang perlu kita cermati bersama. Dan tragedi post power syndrome yang dialami Iblis ini sungguh merupakan tragedi besar yang menjadi latar belakang kehidupan manusia di dunia ini dan hubungannya dengan anak keturunan Iblis. Sampai hari kiamat, hubungan tidak harmonis antara anak keturunan Iblis dan anak keturunan Adam memang akan terus berlangsung.

Dari cerita diatas juga dapat dilihat bahwa sifat legowo ini sebenarnya merupakan salah satu sifat yang tertua karena telah ditunjukkan oleh malaikat sejak penciptaan manusia, sekaligus juga menjadi salah satu sifat yang paling sulit untuk dilaksanakan karena merupakan warisan iblis yang juga muncul sejak awal penciptaan manusia. Entah karena kebetulan atau kesengajaan yang didasari oleh pemikiran yang panjang, dalam ilmu kepemimpinan TNI juga dikenal 11 Azas Kepemimpinan yang menempatkan azas Legowo menjadi azas ke sebelas (paling akhir). Artinya adalah bahwa, legowo merupakan salah satu sifat terpenting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, tetapi mungkin merupakan hal yang paling sulit untuk diimplementasikan dibandingkan dengan sifat-sifat lainnya, makanya diletakkan di urutan ke 11.

Wallahu’alam




Tidak ada komentar:

Posting Komentar