Assalamu'alaikum Wr. Wb

Blog ini dibuat hanya sekedar untuk pengisi waktu luang, tidak ada yang terlalu serius dan penting dalam blog sederhana ini. Tulisan-tulisan yang ada hanya merupakan coretan tanpa makna yang muncul dari "ketidak seriusan" saya dalam membuat blog ini.

Blog ini hanya sebagai penyalur "uneg-uneg" saya tanpa bermaksud membuat orang berpikir terlalu serius. Lihat dan dengar berita di media massa, betapa banyak orang yang pada akhirnya bunuh diri karena terlalu serius menghadapi permasalahan hidupnya sehingga stress, dan ketika tidak mendapatkan jalan keluar dari masalah, akhirnya memilih jalan pintas untuk "keluar dari kehidupannya".

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

04 November 2009

PASAR ANTRI

Bagi di facebook

(oleh: Hamim Tohari)
 

Sampai sekarang saya belum tahu dengan pasti hikayat atau asal muasal nama suatu tempat di samping kantor saya itu, kenapa disebut Pasar Antri…..? Yang saya tahu, 16 tahun yang lalu ketika pertama kali menginjakkan kaki ke Cimahi, Pasar Antri adalah sebuah “pasar kumuh" di sela-sela pertokoan yang seharusnya merupakan jalan raya. Lapak-lapak yang berisi segala jenis dagangan berjubelan, berhimpitan, campur baur jadi satu memenuhi ¾ jalan sepanjang kurang lebih 1 kilo. Akibatnya, jalan raya yang seharusnya menjadi tempat perlintasan mobil pun menjadi macet total. Hanya satu jalur mobil kecil yang bisa melewati tempat itu, dan memerlukan waktu yang lama hanya untuk menempuh jarak sekitar 1 kilo, karena harus berebutan dengan pedagang, sepeda motor dan pejalan kaki yang sama-sama tidak mau ngalah. Semua orang harus ngantri untuk berjalan, melintas, membeli, bahkan untuk buang air ke toilet. Itulah Pasar Antri.
Mungkin kehidupan sosial kita memang harus diwarnai dengan berbagai jenis antrian mulai dari antri pembagian BLT, antri pembagian zakat, antri airnya Ponari, antri mudik, hingga antri untuk dipanggil menjadi menteri. Ironisnya, antrian-antrian itu juga sering membawa korban baik korban nyawa seperti pada antrian zakat, BLT dan air Ponari, korban “sakit jiwa” para caleg tidak terpilih, hingga sekedar korban perasaan calon menteri yang sudah “kadung ngantri" tetapi akhirnya tidak terpanggil.


Antrian memang sering menjadi kelaziman ketika banyak orang menuju ke satu tujuan dengan bersamaan dan melalui jalan yang sama. Antrian seperti itu juga tidak akan menimbulkan masalah sepanjang semua orang memiliki persepsi yang sama bahwa memang itu satu-satunya jalan yang harus ditempuh serta saling bertoleransi selama dalam perjalanan. Masalah biasanya muncul ketika sudah mulai ada oknum-oknum yang mencoba untuk menyimpang dari “mainstream” lalu lintas jalan yang ditetapkan. Ketika sudah mulai ada oknum yang mencoba untuk mencari jalan pintas dan melanggar rambu-rambu yang ditetapkan pada jalan utama, maka para pengguna jalan utama kemudian menjustifikasi oknum tersebut melakukan pelecehan atau penistaan terhadap rambu-rambu di jalan utama yang telah diikuti mayoritas orang selama ini. Oknum-oknum itu kemudian dicap sebagai oknum yang "sesat".


Hari-hari dalam minggu kemaren media massa banyak diwarnai kembali dengan berita-berita tentang munculnya “aliran sesat” di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa Timur dimana masyarakat merasa resah dengan munculnya aliran Baha’i di Tulungagung dan Santri Loka di Mojokerto yang dicap sebagai “aliran sesat”. Hal ini menambah daftar panjang sejarah “aliran sesat” di Indonesia yang sudah muncul sejak beberapa abad yang lalu, dan entah kapan akan berakhir.


Kalau kita lihat ke belakang, fenomena “aliran sesat” ini telah berkembang beriringan dengan perkembangan budaya manusia. Fenomena ini terjadi di berbagai belahan dunia dan dialami oleh berbagai agama. Sekedar contoh saja, di dalam agama Kristen tercatat tokoh-tokoh seperti Iranaeus, Tertulian, Origen dan Lucian yang hidup pada abad-abad awal Masehi yang dianggap “sesat” karena pandangan-pandangan mereka yang menyimpang dari ajaran Injil. Di India juga pernah terdapat sebuah sekte yang melakukan ritual menyimpang dari ajaran agama Hindu sehingga dianggap sesat. Di dalam agama Islam, rasaya sudah sulit untuk menghitung jumlah “aliran sesat” yang pernah muncul di muka bumi ini, baik yang benar-benar sesatdianggap sesat. Sejak jaman setelah Rasulullah SAW, muncul beberapa “aliran sesat” pokok mulai Al-Haruriyyah, Al-Qodariyyah hingga Al- Mu’tazillah, yang kemudian berkembang terus menjadi sempalan-sempalannya yang menyebar ke seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia dan sampai yang terakhir ramai di bicarakan adalah Santri Loka. maupun yang sekedar


Yang menarik adalah realita bahwa fenomena seperti ini tidak banyak didengar terjadi di negara-negara barat atau negara sekuler dimana agama dan dinamika yang terjadi di dalamnya tidak terlalu dominan mewarnai kehidupan masyarakat. Masyarakat barat atau sekuler tidak begitu peduli dengan agama yang dianut oleh orang-orang di sekelilingnya, bahkan mereka bisa dengan terang-terangan mengaku tidak beragama atau memeluk agama yang notabene tidak masuk dalam kategori agama besar yang dianut mayoritas masyarakat dunia. Fenomena “aliran sesat” ini justru banyak terjadi di negara-negara yang “religius” dimana sensitifitas masyarakat terhadap masalah-masalah keagamaan masih begitu tinggi.


Intinya adalah bahwa apabila masyarakat sudah merasa mapan atau nyaman dengan sebuah “mainstream”“sesat”. Mungkin ketika pertama kali agama diperkenalkan kepada manusia menggantikan animisme, agama itu juga dianggap “sesat” oleh masyarakat pada saat itu, kemudian ketika sebuah agama yang lebih baru muncul dan “menggeser posisi” agama lama yang sudah mapan, maka agama baru itu juga dianggap “sesat” oleh penganut agama lama, dan demikian seterusnya, setiap muncul yang baru dan bertentangan dengan yang lama, maka yang baru akan mudah dianggap “sesat”. sosial, khususnya agama, maka mereka akan dengan mudah menganggap segala sesuatu yang berbeda arah atau bertentangan sebagai sesuatu yang


Anehnya, kadang-kadang ketika ada orang mencoba untuk berpikir "berbeda" dari kemapanan pola yang sudah ada, walaupun tidak melecehkan atau menistakan apa yang sudah ada, juga sering dicap sebagai pemikiran yang sesat. Contohnya, ketika kalangan intelektual muda Islam yang ingin melakukan perubahan paradigma berpikir melalui Jaringan Islam Liberal (JIL), maka ada pihak-pihak konservatif yang menganggapnya sesat. Bahkan ketika saya sendiri pun mencoba untuk berpikir "out of the box", maka ada rekan saya sendiri yang cenderung menganggap bahwa pemikiran saya adalah pemikiran yang sesat, karena menyalahi norma atau pakem yang sedang dan telah berlaku.


Hal inilah yang mestinya harus disikapi dengan sangat berhati-hati. Kita tidak bisa dengan serta-merta men-cap sebuah paham atau gerakan di tengah-tengah masyarakat sebagai sebuah “aliran sesat”. Ada institusi atau lembaga yang berwenang untuk menentukan apakah paham itu masuk pada katagori aliran sesat atau bukan dan itupun harus dilakukan melalui sebuah pengkajian atau penelitian yang komprehensif. Apabila aliran atau gerakan di masyarakat itu membawa label sebuah agama tetapi prakteknya menyalahi norma-norma yang ada dalam kitab suci agama tersebut, maka bisa dikatakan bahwa alliran itu adalah sesat dan menyesatkan, serta mengandung unsur pelecehan atau penistaan terhadap agama tertentu.


Tetapi bila muncul suatu aliran yang tidak berlabelkan agama manapun, hanya berbeda dari agama yang dianut mayoritas masyarakat, maka tidak bisa secara serta merta aliran tersebut dicap sebagai “aliran sesat” “sesat secara konstitusional” karena berada diluar agama-agama yang resmi diakui negara berdasarkan undang-undang, walaupun disana juga akan terjadi kerancuan “superioritas kedudukan” antara agama/kepercayaan dengan aturan perundang-undangan. Apakah aturan perundang-undangan yang bersifat “duniawi” dapat dipakai sebagai rujukan untuk menjustifikasi sebuah keyakinan atau kepercayaan yang lebih bersifat “samawi”…? dengan menggunakan referensi agama tertentu. Mungkin aliran tersebut dapat dicap


Seberapapun tingkat “kesesatan” suatu aliran, paham, kepercayaan atau gerakan di dalam masyarakat, hal ini tentu saja tidak serta merta terjadi dengan begitu aja. Tentu saja ada faktor-faktor yang mendorong bermunculannya “aliran sesat” selama ini, dan faktor-faktor inilah yang harus dievaluasi untuk mencegah bermunculannya “aliran sesat” pada masa-masa yang akan datang. Mungkin saja munculnya “aliran sesat” itu merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap dominasi agama mainstream, atau bisa juga merupakan buah dari kekecewaan dan keputus asaan manusia dalam mencari, dan menanti untuk bertemu serta berhubungan dengan Sang Khalik Pencipta dan penopang semesta raya ini.


Mungkin saja para pengikut “aliran sesat” itu merasa belum mampu menemukan harapan utopia mereka dalam kehidupan melalui agama-agama mayoritas yang berlaku sekarang ini, sehingga mereka mencari alternatif solusinya. Atau mungkin juga mereka menganggap ajaran agama yang ada sekarang lebih banyak berisi ancaman-ancaman sehingga mereka berusaha untuk mencari sesuatu yang lebih menjanjikan kenikmatan tanpa harus bersusah payah, dan itu yang kebanyakan dijanjikan oleh “aliran sesat”.


Sebuah hal yang menarik untuk dicermati adalah realitas bahwa kebanyakan pengikut “aliran sesat” yang pernah berkembang di Indonesia adalah masyarakat bawah dengan tingkat ekonomi yang masih rendah (mungkin aliran Lia Eden menjadi pengecualian). Hal ini juga mengindikasikan bahwa kemungkinan besar para pengikut “aliran sesat” itu mengharapkan mukjizat ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan dan penderitaan mereka, dan itu yang disatu sisi dijanjikan oleh pimpinan penyebar “aliran sesat” sedangkan di sisi yang lain belum mereka temukan di dalam agama-agama besar yang dianut oleh mayoritas masyarakat.


Ada sebuah pertanyaan yang perlu dijawab yaitu, cukupkah cap dan label “sesat” dan “penyesat”“YA”, pertanyaan baliknya adalah, apakah penganut agama mainstream juga bebas dari kesesatan dan penyesatan. Lalu, label “sesat” dari pihak mana yang bisa sah dipakai untuk umum dan apakah cap yang diberikan oleh mainstream terbukti valid? Apa dasar yang membuatnya menjadi valid? Solusi yang juga sering diberikan adalah mengharuskan pengembang ajaran baru untuk tidak memakai nama mainstream. diberikan dan dialamatkan kepada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai keyakinan berbeda dengan agama mainstream? Seandainya jawabannya adalah


Ajaran baru harus mempunyai namanya sendiri yang bebas dari nama mainstream. Pertanyaannya lagi, apakah nama baru menjamin sempalan dan sekte-sekte sesat tidak “diutak-atik” karena walaupun namanya baru, tetap saja ada bagian-bagian bahkan mayoritas ajaran mainstream yang diajarkan dengan berbagai variasi dan versi sang pengembang ajaran? Mampu dan maukah mainstream, dalam arti semua agama besar dan mayoritas, mengendalikan umatnya untuk tidak “usil” dan “jahil” kepada sebuah sempalan dan sekte baru.


Diperlukan kearifan untuk menyelesaikan masalah seperti ini. Tidak gampang dan perlu kerja keras. Bagaimanapun juga, ajaran dan sempalan “sesat” akan selalu ada. Masalahnya adalah bagaimana kita menjaga “gawang” kita supaya tidak kebobolan. Para tokoh agama perlu melakukan evaluasi secara jujur dan obyektif terhadap metode pembinaan umat yang dilakukan selama ini, apakah sudah menyentuh substansi permasalahan sosial kemasyarakatan yang paling dasar atau belum. Misalnya apakah metode pembinaan yang dilakukan selama ini sudah mampu memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan yang dialami oleh umatnya atau belum.


Metode ceramah keagamaan juga seharusnya tidak lebih banyak diisi oleh “ancaman-ancaman”, tetapi hendaknya diberikan dengan metode yang lebih menarik bagi ummat, yang bisa memunculkan senyum dan harapan ketika di dengarkan. Toh Tuhan juga bukan Maha Pemarah, tetapi Maha Pemurah lagi Penyayang.


Ibarat menertibkan jalan di depan Pasar Antri agar tidak macet setiap saat, semua harus ditertibkan dengan konsisten. Para petugas yang berwenang melakukan penertiban hendaknya secara konsisten menertibkan semua unsur yang ada di pasar antri dengan cara-cara yang ramah tetapi tegas, sehingga bisa diterima oleh semua pihak dengan kesadaran. Apabila terjadi antrian, maka tidak akan sampai menimbulkan kemacetan parah yang berakibat pada kekecewaan dan keputusasaan para pengguna jalan. Bila ini dapat dilakukan, besar harapan bahwa tidak akan banyak orang yang keluar dari antrian untuk menuju ke tujuan bersama. Tidak akan banyak orang yang melanggar rambu-rambu lalu lintas, karena petugas pun mengaturnya dengan ramah dan penuh senyum.


Tetapi itulah hakekat dari Pasar Antri, walaupun sudah dilakukan berbagai upaya penertiban, masih aja kemacetan terjadi setiap saat, dan masih juga banyak oknum yang mencoba menerobos dan melanggar rambu-rambu. Masih saja banyak orang yang mencoba (atau sudah terbiasa) berbuat “sesat”.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar